FUNGSI PERAWAT AGAR TERHINDAR DARI MASALAH ETIK MAUPUN HUKUM
Perawat merupakan salah satu profesi yang selalu berhubungan dan berinteraksi langsung dengan klien, baik itu klien sebagai individu, keluarga, maupun masyarakat. Oleh karena itu perawat dalam memberikan asuhan keperawatanya dituntut untuk memahami dan berperilaku sesuai dengan etik keperawatan. Agar seorang perawat dapat bertanggungjawab dan bertanggunggugat maka ia harus memegang teguh nilai-nilai yang mendasari praktik keperawatan itu sendiri, yaitu : perawat membantu klien untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimum; perawat membantu meningkatkan autonomi klien mengekspresikan kebutuhannya; perawat mendukung martabat kemanusiaan dan berlaku sebagai advokat bagi kliennya; perawat menjaga kerahasiaan klien; berorientasi pada akuntabilitas perawat; dan perawat bekerja dalam lingkungan yang kompeten, etik, dan aman (CNA, 2001).
Evolusi perkembangan sistem pelayanan kesehatan telah mengubah peran dan tanggungjawab perawat secara signifikan. Dalam perkembangan lebih lanjut, perawat dituntut untuk bertanggungjawab memberikan praktik keperawatan yang aman dan efektif serta bekerja dalam lingkungan yang memiliki standar klinik yang tinggi (Mahlmeister, 1999). Standar klinik akan memberikan pedoman dan petunjuk bagi perawat agar mereka tidak melakukan malpraktik dan menghindarkan klien dari dampak yang buruk. Berdasarkan kondisi tersebut muncul suatu pertanyaan, bagaimanakah seharusnya seorang perawat spesialis harus menjalankan fungsinya sehingga terhindar dari masalah etik maupun hukum?
Menurut penulis, pertanyaan di atas memiliki implikasi terhadap pengambilan keputusan secara etik. Karena dalam menjalankan fungsinya perawat spesialis selalu menggunakan kemampuan interpersonal dan komunikasinya untuk berinteraksi dengan rekan sejawat, profesi kesehatan lainnya, dan klien. Oleh karena itu, kadangkala terjadi konflik etik pada dirinya yang memerlukan pemecahan secara etik pula. Menurut Canadian Nurse Association (2001) model pengambilan keputusan secara etik (Lihat gambar) akan memungkinkan bagi perawat untuk membuat sebuah keputusan yang adil dan terbaik sehingga perawat akan memiliki kepercayaan diri dalam bertindak dan menguatkan interaksi perawat dengan pasien, keluarga, dan anggota tim kesehatan lainnya.
Spesialis perawat sebagai profesional ahli hendaknya dalam melakukan praktik perawatan selalu berorientasi pada akuntabilitas (tanggunggugat), liabilitas (tanggungjawab), dan outcome pasien yang lebih baik. Akuntabilitas diartikan sebagai suatu keadaan yang dapat dipertanggungjawabkan atau dijelaskan. Perawat sebagai salah satu profesi kesehatan hendaknya dapat memberikan penjelasan kepada pasien, anggota tim kerja lainnya, organisasi profesi, dan atau lembaga yuridis ketika kualitas praktik keperawatan dipertanyakan atau terdapat dugaan adanya tindakan yang tidak profesional, tidak etis, illegal, tidak diterima, atau tidak pantas (Boxho, 2001).
Sedangkan liabilitas adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang perawat baik aktual maupun potensial. Perawat adalah subyek profesional yang dituntut untuk melaksanakan berbagai tugas dan kewajiban yang diembannya. Ketika ia melaksanakan tugasnya, perawat tidak serta merta melaksanakan kewajibannya secara otomatis atau kaku. Namun, kadangkala ia perlu mempertimbangkan baik buruknya tindakan secara ilmiah. Proses pertimbangan tersebut tergantung pada situasi dan kondisi yang ada (Wright, 2004).
Keperawatan merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan profesional yang ditujukan kepada klien baik dalam keadaan sehat maupun sakit melalui kiat-kiat keperawatan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan. Pelayanan keperawatan yang diberikan oleh seorang perawat sangat mempengaruhi mutu asuhan keperawatan yang akan diterima oleh klien. Oleh karena itu untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas maka perawat perlu berorientasi pada outcome klien yang lebih baik (Bellato & Pereira, 2004; Nicklin, 2003). Kondisi tersebut dapat tercapai apabila tercipta lingkungan kerja perawat yang berkualitas. Canadian Nursing Association (CNA) membuat suatu model lingkungan praktik profesional yang berkualitas. CNA mengidentifikasikan enam kondisi tempat kerja yang sehat, yaitu :
(1) kontrol beban kerja,
(2) kepemimpinan dalam keperawatan,
(3) kontrol kualitas pelayanan,
(4) dukungan dan penghargaan,
(5) pengembangan profesi, serta
(6) inovasi dan kreatifitas (CNA, 2003).
Lingkungan praktik profesional yang berkualitas merupakan nilai sentral pada praktik keperawatan yang etis dan memainkan peran yang penting dalam menurunkan situasi berbahaya yang disebabkan oleh ethical distress dan moral residue. Maksudnya, apabila perawat memiliki autonomi, dukungan dan kesempatan untuk mengembangkan profesionalitasnya, maka hal tersebut akan menghilangkan celah antara praktik yang etis dan penurunan ethical distress.
Salah satu permasalahan yang sering muncul di suatu rumah sakit adalah beban kerja perawat yang tidak seimbang. Walaupun seringkali menejer sulit untuk mengetahui kualitas beban kerja tersebut karena lebih mendasarkan pada keluhan-keluhan yang bersifat subyektif (Ilyas, 2004). Biasanya situasi tersebut diawali dari tahap perencanaan kebutuhan tenaga perawat yang tidak sesuai dengan kapasitas kerja suatu institusi pelayanan. Hal ini sangat berisiko bagi kualitas pelayanan yang diberikan oleh perawat karena apabila beban kerja tinggi maka ketelitian dan keamanan kerja menjadi menurun (Ferguson-Paré, 2004). Affonso et al. (2003) mengingatkan bahwa beban kerja perawat memiliki hubungan yang signifikan terhadap keamanan pasien. Pasien dan lingkungan kerja yang aman akan meningkatkan outcome pasien (Nicklin et al., 2004).
Kepemimpinan dalam keperawatan menuntut seorang perawat agar memiliki peran sebagai pemimpin formal atau informal dimana ia dikenal memiliki keahlian dalam praktik keperawatan, memberikan asuhan keperawatan prima, dipercaya oleh rekan sejawat dan memberikan harapan bagi yang lainnya, serta dapat menjelaskan visi dan misinya sebagai tenaga keperawatan (Donner & Wheeler, 2004). Perawat yang memiliki kepemimpinan juga harus dapat mengkondisikan lingkungan kerja yang kondusif dan dinamis serta merencanakan pengembangan karier perawat yang jelas dengan cara aktif memberikan dukungan untuk pengembangan diri perawat. Seorang pemimpin juga harus dapat memotivasi perawat menjadi pekerja yang ulet, dan mempunyai pandangan ke depan sehingga meningkatkan profesionalisme mereka. Dalam perkembangan sistem kesehatan yang progresif, investasi pada pengembangan kepemimpinan akan memberikan hasil (return) yang signifikan pada pengembangan organisasi yang efektif (Leatt & Porter, 2003).
Menganalogikan konsep yang dijelaskan oleh Sallis (1996), bahwa kontrol kualitas pelayanan merupakan upaya untuk mendeteksi dan mengurangi komponen atau hasil pelayanan keperawatan yang tidak sesuai dengan standar. Kontrol kualitas pelayanan biasanya dilakukan atau disupervisi oleh perawat menejer terhadap kinerja perawat bawahannya. Standar pelayanan keperawatan didasarkan pada hasil riset keperawatan. Praktik keperawatan yang berdasarkan fakta empiris (evidence based nursing) bertujuan untuk memberikan cara menurut fakta terbaik dari riset yang diaplikasikan secara hati-hati dan bijaksana dalam tindakan deteksi dini, preventif, maupun asuhan keperawatan (Cullum, 2001). Menerapkan hasil penelitian dalam pelayanan kesehatan adalah upaya signifikan dalam memperbaiki pelayanan kesehatan yang berorientasi pada efektifitas pembiayaan (cost effectiveness). Meningkatkan kegiatan riset keperawatan dan menerapkan hasilnya dalam praktik keperawatan merupakan kebutuhan mendesak untuk membangun praktik keperawatan yang lebih efektif dan efisien. Menurut sebuah studi terhadap berbagai laporan penelitian keperawatan (meta-analysis) yang dilakukan oleh Heater, Beckker, dan Olson (1988), menjumpai bahwa pasien yang mendapatkan intervensi keperawatan bersumber dari riset memiliki out come yang lebih baik bila dibandingkan dengan pasien yang hanya mendapatkan intervensi standar.
Sistem dukungan dan penghargaan bagi perawat akan memberikan pengaruh yang cukup baik bagi kinerja perawat. Lingkungan kerja yang lebih memprioritaskan pada budaya penghargaan (reward) akan lebih baik menghasilkan perubahan perilaku perawat bila dibandingkan budaya hukuman (punishment) (The Office of Minority Health, 2000). Secara psikologis lingkungan kerja yang memuaskan akan meningkatkan kinerja perawat sehingga akan meningkatkan outcome pasien (Rogers, 2000).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Laschinger et al. (2001), apabila perawat tidak mendapatkan kesempatkan untuk mengembangkan karier dirinya maka akan berpengaruh terhadap keinginan perawat untuk melakukan tindakan yang positif di masa mendatang. Pada bagian lain, ia pun mengingatkan apabila lingkungan kerja perawat tidak menjanjikan dalam jangka panjang akan terjadi penurunan kualitas kerja, tidak puas terhadap pekerjaan, kesehatan fisik dan mental yang melemah. Dalam sistem pelayanan kesehatan, kinerja perawat merupakan faktor utama dalam pencapaian outcome pasien yang positif.
Keinginan untuk berinovasi dan berkreativitas para perawat merupakan aktualisasi diri dari keinginan untuk berkembang (need of achievement). Orang-orang yang seperti itulah yang diharapkan oleh profesi keperawatan sebagai change agent. Teori perubahan yang disampaikan oleh Kurt Lewin memberikan penjelasan bahwa perubahan terjadi melalui dua mekanisme, yaitu : (1) mengurangi hambatan (barriers) dan (2) meningkatkan dukungan (Schein, 1997). Oleh karena itu, menejer keperawatan perlu mengkondisikan lingkungannya agar kondusif bagi perawat untuk mengekspresikan inovasi dan kreativitasnya melalui riset keperawatan. Menurut Rogers (1995) dalam Hebert (2000), langkah strategis upaya adopsi inovasi dalam rangka peningkatan standar praktik keperawatan adalah meningkatkan kesempatan pelatihan dan pendidikan berkelanjutan (continuing education) bagi para perawat.
Sebagai seorang menejer, perawat spesialis hendaknya selalu menjalankan fungsinya dengan baik agar terhindar dari permasalahan etik dan hukum. Sebagai langkah strategis untuk menghindarkan diri dari permasalah tersebut adalah meningkatkan akuntabilitas, liabilitas, dan mengkondisikan lingkungan kerjanya berorientasi pada outcome pasien yang positif (Boxho, 2001). Canadian Nurses Association mengidentifikasikan enam kondisi tempat kerja agar tercapai outcome pasien yang positif, yaitu :
(1) kontrol beban kerja,
(2) kepemimpinan dalam keperawatan,
(3) kontrol kualitas pelayanan,
(4) dukungan dan penghargaan,
(5) pengembangan profesi, serta
(6) inovasi dan kreatifitas (CNA, 2003).
Kemampuan profesional tenaga kesehatan merupakan salah satu indikator kepercayaan pasien terhadap dunia medis khususnya tenaga kesehatan, maka sudah seyogianya kepercayaan tersebut harus dilakukan menurut standar profesi dan berpegang teguh pada kode etik medik. Kedudukan dokter yang selama ini dianggap lebih “tinggi” dari pasien merupakan dampak dari keterbatasan pengetahuan masyarakat terhadap hak-hak mereka dari timbulnya hubungan hukum antara pasien dan dokter sebagai tenaga profesi. Dengan semakin maju dan meningkatnya kemampuan pengetahuan masyarakat, hubungan tersebut secara perlahan-lahan mengalami perubahan. Kepercayaan kepada dokter secara pribadi berubah menjadi kepercayaan terhadap kemampuan ilmu (science) dan pengalaman (experience) yang dimiliki oleh dokter bersangkutan dalam dunia kedokteran dan teknologi. Penyalahgunaan kemampuan yang dimiliki dokter sebagai tenaga profesi yang merugikan pasien dan atau bertentangan dengan hukum dinamakan malpraktik (negligence) di bidang kedokteran. Maka oleh sebab itu penjelasan tentang hak dan kewajiban pasien secara hukum sangat penting dilakukan. Pengetahuan tentang hak dan kewajiban pasien diharapkan akan meningkatkan kualitas sikap dan tindakan yang cermat dan kehati-hati dari tenaga kesehatan dalam mejalani tugas profesinya sebagai dokter. Keselamatan dan perkembangan kesehatan merupakan landasan mutlak bagi dokter dalam menjalankan praktik profesinya. Seorang dokter harus melakukan segala upaya semaksimal mungkin untuk menangani pasienya. Untuk menciptakan perlindungan hukum bagi pasien maka para pihak harus memahami hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya. Perlindungan terhadap pasien mendapatkan perhatian yang cukup, akan tetapi sangat disayangkan kaedah-kaedah dasar hukum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yang memerlukan peraturan pelaksana sampai sekarang masih belum ada realisasinya.
Di Indonesia terdapat ketentuan persetujuan (informed consent) yang diatur antara lain pada Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1981 dan Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88 yang menjelaskan tentang informed consent adalah:
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri;
2. Semua tindakan medis (diagnotik, terapeutik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis;
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat (memenhi syarat) tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risikonya;
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam;
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberi informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang perawat/paramedik lain sebagai saksi adalah penting;
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).
Dokter sebagai tenaga kesehatan sangat perlu memahami adanya landasan hukum dalam transaksi terapetik antara dokter dan pasien. Mengetahui atau memahami hak dan kewajiban pasien serta hak dan kewajiban dokter, merupakan hal sangat penting, karena dinamika kehidupan masyarakat terus berkembang pada aspek kesehatan. Sehingga terkadang muncul kelalaian dan terbengkalainya hak dan kewajiban antara pasien dengan dokter, kesalahan dan atau kelalaian yang dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, dapat dituntut secara pidana apabila memenuhi unsur pidana. Dalam hukum pidana dikenal kata “schuld” yang mengandung selain dari dolus dan kesalahan dalam arti yang lebih sempit adalah culpa. Ini merupakan unsur esensial dalam suatu tindakan pidana agar dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Sebagai kesalahan culpa menurut Oemar Sono Adji, misalnya, ia mengandung 2 (dua) unsur atau persayaratan yaitu:
(1). Kurang hati-hati, kurang waspada, (voorzichtig),
(2). Kurang menduga timbulnya perbuatan dan akibat (Voorzien).
Sehingga suatu hubungan kausal yang lebih, merupakan kesalahan profesi dokter dan dapat dipertanggungjawabkan karena tidak memenuhi kewajiban. Ini dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Dokter dapat dimintakan tanggung jawab hukum apabila melakukan kelalaian/kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Pasien dapat menggugat tanggung jawab hukum kedokteran (medical liability). Dokter tidak dapat berdalih dengan perbuatan tidak sengaja, sebab kelalaian/kesalahan dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien berhak digugat atau dimintai ganti rugi. Dari permasalahan tersebut dapat digarisbawahi bahwa apa pun tindakan yang akan dilakukan dokter--terhadap pasien menyangkut tugas dan profesinya sebagai dokter--harus tetap memperhatikan aturan hukum (guidance of law) yang berlaku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar