Daftar Blog Saya

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

kenalke riyen

Foto saya
semarang, jawa tengah, Afghanistan
dijalan ini tiada tempat berhenti siapa berhenti mati siapa malas tergilas

Followers

kutipan semangat

keberhasilan adalah sebuah pencapaian... tiada keberhasilan tanpa kerja keras tiada kerja keras tanpa resiko setiap orang akan mengalami fase2 sulit.. salam sukses!!!

Sponsors

gunakan kesempatan yang masih diberi aagar kita tak menyesal

Footer Right Content

RSS

ASKEP CKS



BAB I
KONSEP DASAR

A. Definisi
Komosio serebri (gegar otak) merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi pingsan (kurang dari 10 menit). Gejala gejala lain mungkin termasuk noda-noda di depan mata dan linglung. Komosio serebri tidak meninggalkan gejala sisa atau tidak menyebabkan kerusakan struktur otak (Pahria, 1996: 48).
Komosio serebri atau gegar otak adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai dengan kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh sakit kepala, vertigo, mungkin muntah, tampak pucat (Harsono, 2000: 310).
Cedera kepala sedang adalah cedera kepala dengan GCS (Galsgow Coma Scale) antara 9 sampai 13 (Mansjoer, Arif. 2000: 3).
Cedera kepala sedang adalah cedera kepala dengan Skala Koma Glssgow (SKG) antara 9-12 dengan kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam serta dapat mengalami fraktur tengkorak (Hudak dan Gallo, 1996: 226)
Dari beberapa pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa cedera kepala sedang merupakan cedera kepala yang dapat mengakibatkan kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam serta dapat disertai dengan fraktur tengkorak dan kerusakan struktur dan jaringan otak dengan Skala Koma Galsgow (SKG) antara 9-13.
B. Etiologi
Penyebab dari cedera kepala sedang antara lain:
1. Kecelakaan sepeda motor atau lalu lintas
2. Jatuh, benturan dengan benda keras
3. Karena pukulan engan benda tajam, tumpul dan perkelahian
4. Cerdera karena olah raga (Corwin, 2000: 175)
Berbagai macam penyebab dari cedera kepala diantaranya karena adanya percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur objek yang tidak bergrak. Kerusakan otak bias terjadi pada titik benturan pada sisi yang berlawanan (Adelina, 2000, http://www.medicastore.com/ =687. Accessed 29 Juni 2008).
C. Manifestasi Klinis
Gejala klinik dari cedera kepala berbeda-beda dengan jenis dan macam-macam dari truma kepala itu sendiri. Jenis trauma kepala ada dua yaitu:
1. Trauma Kepala tertutup
a. Komosio serebri
Adalah suatu kehilangan fungsi neural akut yang berlangsung sebentar saja. Penderita mengalami amnesia retrograde tanpa ditemukannya kelainan neurologist. Sepertiga kasus mengelami kasus linier yang tidak dapat mengubah perjalanan penyakit sehingga tidak perlu rawat inap. Bila terjadi fraktur yang melintasi arteri meningia media, sutura lamdoidal atau sutura sagitalis sebaiknya dilakukan perawatan, karena kemungkinan akan terjadi hematoma epidural.
Tanda dan gejala klinik:
1) Pingsan tidak lebih dari 10 menit
2) TTV yang tidak normal atau menurun
3) Setelah sadar mungkin terdapat gejala subyektif seperi nyeri kepala, pusing dan mintah
4) Terdapat amnesia retrograde (singkat) dan pada pemerisaan tidak terdapat kelainan neurologi lainnya
b. Kontusio Serebri
Tanda dan gejala:
1) Pingsan berlangsung lama, lebih dari 1 jam dan dapat berhari-hari bahkan berminggu-minggu.
2) Kelainan neurologik. Kelinan ini timbul tergantung pada lokalisasi dan luasnya nyeri. Lesi pada batang otak dapat berakibat fatal.
a) Pada gangguan diensefalon: prnafasan biasa (cheyne strokes ), pupil mengecil, dan reflek cahaya baik, gerakan mata tetap ditengah pada pergerakan kepala, pada susunan motorik terdapat rigiditas debortikalis
b) Pada gangguan Mesensefalons dan Pons: penurunan kesadaran hingga koma, hiperventilasi, pupil melebar dan refleksi cahaya tidak ada, pergerakan cahaya tidak teratur sikap desorebrasi tungkai dan lengan (ekstensi).
c) Pada medulla oblongata: Nafas tersengal-sengal, tidak teratur kemudian berhenti, pada pemeriksaan fungsi lumbal, cairan serebrospinalis berdarah.
c. Hematoma epidural
Adalah pengumpulan darah diantara tulang kepala dan durameter. Lokasi yang sering terjadi adalah didaerah frontal dan temporal. Perdarahan ini terjadi karena robeknya arteri meningea media atau cabang-cabangnya, atau robeknya vena meningea media
Gejala Klinik:
1) Penurunan kesadaran (Nyeri kepala sebentar lalu membaik)
2) Anisokor
3) Hemiparesi kontralateral
4) Beberapa jam kemudian timbul gejala yang berat dan progresif (nyeri kepala hebat, pusing dan penurunan kesadaran).
d. Hematoma Subdural
Adalah pengumpulan darah diantara durameter dan arakhnoid. Perdarahan disebabkan oleh robeknya vena yang melintas dari kortekas serebri ke sinus dural (bridging veins) atau laserasi durameter. Perdarahan ini dapat dibedakan menjadi perdarahan akut, sub akut dan kronis. Perdarahan akut sering dihubungkan dengan cedar otak besar atau batang otak dengan tanda-tanda nyeri kepala, perasaan ngantuk, bingung, gelisah, dan respon yang lambat.
Perdarahan sub akut biasanya berkembang antara 7-10 hari setelah cedera dan dihubungankan dengan kontusio serebri yang agak berat. Hal ini dapat menyebaban tekanan yang terus-menerus yang dapat meningkatkan penurunan kesadaran yang dalam.
Perubahan subdural kronis terjadi karena luka yang ringan. Pada mulanya perdarahan yang kecil memasuki ruang subdural, kemudian beberapa minggu menumpuk disekitar membrane vaskuler dan pelan-pelan meluas dan menimbulkan gejala sampai beberapa minggu/bulan sehingga terjadi pnurunan tingkat kesadaran.
Gejala klinik:
1) Nyeri kepala yang hebat dan muntah
2) Ubun-ubun yang besar menonjol dan lingkar kepala membesar
3) Kejang-kejang
4) Perdarahan retina
5) Peningatan intra kranial yang timbul dalam satu waktu sampai dua hari
e. Perdarahan Intra Serebral
Merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Hal ini banyak dihubungkan dengan kontusio yang terjadi didaerah frontal dan temporal. Akibatnya danya substansi darah dalam jaringan otak maka akan menimbulkan edema otak dan gejala neurologiknya tergantung dari ukuran dan lokasi perdarahan:
Gejala Klinik:
1. Terjadi bersama kontusio
2. Lebih buruk dari kontusio
3. Adanya bekuan darah di otak
4. Edema lokal yang hebat
f. Fraktur Tengkorak
Fraktur tengkorak terdiri atas fraktur linier, distatik, growing basilar, impresi dan terbuka.
Fraktur linier: Tengkorak yang imatur dapat menahan deformasi yang lebih besar sebelum terjadi fraktur, dan bentuk yang terjadi biasanya fraktur linier. Pada anak kecil garis fraktur otak rata sehingga sulit dibedakan dengan sutura yang masih terbuka. Fraktur linier terjadi akibat pukulan benda keras, oleh karena itu perlu diobservasi kemungkinan terjadinya hematoma epidural dan subdural. Fraktur ditemporal atau meluas ke foramen magnum dapat disertai timbulnya hematoma epidural, demikian juga apabila garis fraktur menyilang pembuluh darah besar.
Fratur diastatik: Adalah terpisahnya satu sutura atau lebih karena trauma kepala. Terjadi karena robeknya sambungan sutra yang fibrus. Sering terjadi pada sutura lamdoidal dalam usia 4 tahun yang pertama. Keadaan ini harus dipantau secara tepat sebab dapat menjadi fraktur growing yaitu herniasi jaringan otak melalui durameter yang robek.
Fraktur basilar: Keadaan ini dapat dicurigai apabila telihat perdarahan nasofarings, telinga tengah, keluarnya cairan serebrospinal dari telinga (otorea), keluarnya cairan serebrospinal dari hidung (rinorea) , ekimosis retroarikular dan sekitar mata (battle sign) dan paresis Nervus VII dan VIII. Fraktur didasar fosa anterior dapat terjadi kedalam orbita dengan gejala eksoftalamos dan perdarahan konjungtiva, sedangkan fraktur dibagian temporalis bagian mastoid menyebabkan ekimosis retroarikular.
g. Sindroma Pasca Trauma
Gejala Klinik:
1) Palpitaasi (berdebar-debar)
2) Konsentrasi menurun
3) Dimensia ringan
4) Mudah tersinggung
5) Gangguan seksual
6) Berkeringat
7) Cepat lelah
8) Lesi-lesi kecil didaerah temporofrontal
2. Trauma Kepala Tertuutup (trauma spinal)
Gejala klinik:
a. Avulsi radiks terutama regio fleksus brakialis
b. Nyeri berat
c. Mengakibatkan paresis anggota badan terkait
d. Lesi servikal atas

Secara spesifik manifestasi klinis dari cedera kepala sedang adalah:
1. Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
2. Dapat mengalami fraktur tengkorak
3. Skala Koma Glasgow (SKG) antara 9-13 (Hudak dan Gallo, 1996: 226)
4. Terjadi konvusi
5. Muntah
6. Tanda kemungkinan terjadi fraktur kranium (mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebrospinal) dan terdapat lesi-lesi kecil di daerah tempofrontal
7. Kejang (Mansjoer, Arif. 2000: 4)
D. Anatomi Patologi
Otak dilindungi dari cidera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya. Pelindung lain yang melapisi oatak adalah meningen yang mempunyai tiga buah lapisan ketiga lapisan tersebut adalah durameter, arakhnoid dan piameter. Durameter terdiri atas jaringan ikat kolagen padat, tebal dan keras. Lapisan paling luar berpadu dengan tengkorak dan merupakan selaput halus yang terdiri atas selmitosel yang disebut villus arakhnoid alis yang menonjol dalam sinus itu, berparan dalam Liquor serebrospinalis. Antara arakhnoid dan piameter terdapat tulang sabarakhnoid berisi serebrospinal terdiri berbagai selaput yang terjalin seperti laba-laba, saraf, makrofag, melankor. Pada sinus sagitalis superior dan transversal, arakhnoid membentuk tonjolan villus (pacciani) yang bertindak sebagai lintasan untuk mengosongkan cairan serebrospinale dalam sistem vena. Piameter terdiri atas selapis metosel yang berhubungan erat dengan otak (Price dan Wilson, 1995: 1014).
Adapun trauma pada kepala mengakibatkan kehilangan kesadaran dan reflek-reflek. Gejala-gejala lebih keras bila trauma terjadi pada saat kepala sedang bergerak. Akibat benturan, timbul getaran-getaran yang dialirkan ke jaringan otak, yang terkena mula-mula adalah permukaan otak sehingga daerah motorik yang superfisial (yang mengurus tungkai bawah) terkena juga sehingga menimbulkan kelemahan. Sering labirin terkena sehingga menimbulkan vertigo dan kehilangan keseimbangan. Terkenanya batang otak bagian atas menimbulkan kehilangan kesadaran. Gejala klinis khas ialah amnesia retrograde yaitu penderita setelah sadar lagi tidak mengetahui apa-apa yang mengenai kejadian tersebut. Setelah tingkat akut dapat terjadi gejala-gejala yang disebut sindrom paska gegar, yang biasanya terdiri atas nyeri kepala, pusing dan mudah tersinggung yang ditemukan pada orang dewasa (Himawan, 1996: 397).
E. Patofisiologi
Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit, kepala, tulang kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruh. Faktor yang mempengaruhi cedera kepala adalah lokasi dan arah dari penyebab benturan, kecepatan kekuatan yang datang, permukaan dan kekuatan yang menimpa, kondisi kepala ketika mendapat benturan.
Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurika, suatu jaringn fibrosa, padat dan dapat digerakan dengan bebas yang membantu menyerap kekuatan eksternal. Diantara kulit dan galea terdapat lapisan lemak dan membran dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh darah. Bila robek pembuluh ini akan sukar vasokontriksi. Tengkorak otak merupakan ruangan keras sebagai pelindung otak atau rangka otak. Pelindung lain adalah meningen yang merupakan selaput menutupi otak (Price dan Wilson, 1995: 1014)
Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus durameter) atau truma tertutup (trauma tumpul tanpa penetrasi menembus durameter). Cedera kepala terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak. Pada kedua jenis kepala akan terjadi kerusakan apabila pembuluh darah dan sel glia dan neuron hancur. Kerusakan otak akan timbul apabila terjadi perdarahan sdan peradangan yang menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial (Corwin, 2001: 175).
Mekanisme cedera kepala memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi bila benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, sedangkan perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak (Hudak dan Gallo, 1996: 226). Kedua kekuatan ini mungkin terjadi scara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan dapat diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada subtantia alba dan batang otak.
Cedera primer yang terjadi pada waktu benturan mungkin memar karena benturan otak, laserasi subtantia alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi Hiperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial dan akhirnya peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekundar meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi (Hudak dan Galllo. 1996: 226)..
Trauma dengan disertai edema dapat menyumbat CSF (Cerebro Spinal Fluid) baik langsung maupun tidak yang berakibat Tekanan Intra Kranial meningkat (Long. 1996: 2004).
Efek trauma yang dapat menyebabkan perubahan neurologik berat, disebaban oleh reaksi jaringan terhadap cedera setiap kali jaringan mengalami cedera, responnya dapat diperkirakan sebelumnya dengan perubahan cairan intrasel dan ekstrasel yang dapat mengakibatkan edema otak, mekanisme kompensasi menjadi tidak efektif yang menimbulkan peningkatan TIK yang dapat mengurangi aliran darah otak dan mengakibatkan retensi CO2 yang meningkat akibat mengakibatan vasodilatasi yang membantu peningkatan TIK sehingga otak akan mengalami penurunan dan glukosa, sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh berkurang karena akan menimbulkan koma (Pahria, Tuti. 1996: 50).
Pada kontusio serebri yang berat akan terrjadi penimbunan asam laktat dan penambahan asam laktat, hal ini dapat teerjadi karena metabolisme anaerobik dari glukosa akibat hipoksia atau kerusakan akibat trauma. Bila otak mengalami hipoksia maka metabolisme glukosa anaerob akan terrjadi dan pada proses ini menyebabkan dilatasi pembuluh darah, hal ini terjadi agar kebutuhan oksigen otak terpenuhi.
Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, bila terjadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar maka akan mengakibatan gangguan fungsi. Sedangkam bahan bakar utama otak adalah glukosa. Bila kadar glukosa kurang dari 20 mg % maka akan terjadi koma.
Dalam keadaan normal Cerebral Blood Flow yaitu 60-70 ml/menit/100 gram jaringan otak, yang berarti 20% dari CO. Pembuluh darah akan berkonstriksi bila tekanan menurun sedangkan pengaruh saraf simpatis dan parasimpatis pada pembuluh darah arteri tidak begitu besar. Sedangan konsentrasi O2 dan CO2 dalam arteri sangat mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah maka aliran darah akan bertambah secara nyata karena terjadi vasodilatasi, sebaliknya bila terjadi penurunan PCO2 akan terjadi alkalosis yang menyebabkan konstriksi arteri kecil dan penurunan CSF. Penambahan jumlah darah dalam intrakranial akan menyebabkan terjadinya Tekanan Intra Kranial (TIK).
Edema otak disebabkan karena adanya penumpukan cairan yang berlebihan pada jaringan otak. Pada pasien kontusio serebri pembuluh kapiler robek, cairan traumatik mengandung protein eksudat yang berisi albumin dan cairan interstitial. Otak pada kondisi normal tidak mengalami kondisi otak sehingga bila terjadi penekanan terhadap pembuluh darah dan jaringan sekitarnya akan menimbulkan kematian jaringan otak. Edema jaringan otak akan mengakibatkan peningkatan TIK yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan pada batang otak.
Banyak energi diserap oleh lapisan pelindung (rambut, kulit, kepala, tengkorak) tetapi pada truma hebat penyerapannya ini tidak cukup untuk melindungi otak. Sisa energi diteruskan dan menyebabkan kerusakan dan gangguan sepanjang jalan yang dilewati karena jaringan lunak menjadi sasaran kekuatan itu.
Efek sekunder trauma yang menyebabkan neurologik berat, disebabkan oleh reaksi jaringan terhadap cedera. Setiap kali jaringan mengalami cedera dan ekstrasel, eksravasasi darah, peningkatan suplai darah ketempat itu dan mobilisasi sel-sel untuk memperbaiki dan membuang debris seluler.
Neuron atau sel-sl fungisional dalam otak yang bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrisi yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen serta sangat peka terhadap cedera metabolik apabila suplai terhenti sebagai akibat cedera, sirkulasi otak dapat kehilangan kemempuannya untuk mengatur volume darah beredar dan bersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak (Price, 1995: 1016).

G. Fokus Pengkajian
1. Aktivitas/ istirahat
Data subyektif : adanya kelelahan/ kelemahan
Data Obyektif : kesadaran menurun, latheragi, hemiparase, hilang keseimbangan, adanya trauma tulang, dan spasme.
2. Peredaran Darah
Data obyektif : tekanan darah tinggi, denyut nadi (Brachilis, Tachicardy, dysritmia)
3. Eliminasi
Data subyektif : verbal tidak dapat membuang air dan air besar
Data Obyektif : Bladder dan Bowel Icontinensia.
4. Makanan/ Cairan
Data subyektif : mual, Muntah
Data Obyektif : muntah yang memencar/ proyektil, masalah kesukaran menelan (batuk, air liur yang berlebihan, sukar makan makanan)
5. Persarafan
Data subyektif : pusing, adanya kehilangan kesadaran, kejang, masalah penglihatan, bunyi terdengung ditelinga.
Data Obyektif : kesadaran menurun, koma perubahan status mental, perubahan penglihatan, kehilangan sensitifitas, wajah tidak simetris, tida ada reflek tendon, hemiparase, adanya perdarahan mata, hidung, telinga dan kejang.
6. Kenyamanan/ Nyeri
Data subyektif : nyeri kepala yang bervariasi tekanan dan lokasinya.
Data Obyektif : respon menarik diri terhadap rangsangan
7. Pernafasan
Data Obyektif : perubahan pada pola nafas wheezing, stridor dan ronchi.
8. Keamanan
Data subyektif : ada riwayat kecelakaan
Data Obyektif : terdapat trauma, fraktur, dislokasi, perubahan penglihatan, kulit, keluar darah dari telinga atau hidung. Ketidaktahanan tentang keadaanya, kelemahan otot, paralise, demam, perubahan temperatur.
9. Konsep diri
Data subyektif : Adanya perubahan tingkah laku
Data Obyetif : Kecemasan, berdebar-debar, bingung, delirium
10. Interaksi Sosial
Data Obyektif : Afasia/ disatria (gangguan dalam mengartikan perkataan orang lain)
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam menegakkan diagnosa medis adalah X- Ray tengkorak, CT Scan, Angiografi.
H. Fokus Intervensi
Intervensi Keperawatan bedasarkan diagnosa yang mungkin muncul pada pasien dengan cedera kepala adalah:
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hemoragi, hematoma, atau edema serebral.
Dibuktikan oleh perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan respon motorik/ sensorik, perubahan tanda-tanda vital. Kriteria hasilnya adalah mempertahankan tingkat kesadaran biasa/ perbaikan, kognisi dan fungsi motorik/ sensorik, mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan tekanan intra kranial.
Intervensinya adalah pantau atau catat status neurologis dengan nilai skala coma Glasgow normal, pantau tekanan darah, evaluasi keadaan pupil, ukuran , kasamaan, reaksi, kaji perubahan pada penglihatan, catat/ada tidaknya reflek-reflek tertentu, (menelan, batuk), pantau suhu dan atur lingkungan sesuai indikasi, pantau pemasukan, dan pengeluaran, perthankan posisi kepala/ leher posisi tengah, netral, berikan wakti istirahat, diantara ativitas istirahat, kolaborasi tinggikan kepala pasien 15-45O sesuai indikasi, batasi pemberian sesuai indikasi, berikan oksigen tambahan, sesuai indikasi, berikan obat (diuretik, manitol, steroid, analgesik) sesuai indikasi (Doenges, 2000: 273).
2. Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernafasan otak), obstruksi trakeobronkial.
Kriteria hasilnya adalah mempertahankan pola pernafasan normal (efektif, bebas, sianosis, analisa gas darah normal)
Intervensinya adalah pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan, angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi, anjurkan pasien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika pasien sadar, lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan secret, auskultasi suara nafas, perhatikan daerah hipoventilasi, pantau dari penggunaan dari obat-obat depresan pernafasan, serta dapat dipantau analisa gas darah, lakukan rontgent thoraks ulang dan berikan oksigen (Doenges, 2000: 277).
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi, penurunan kekuatan.
Dibuktikan oleh ketidakmampuan bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik di tempat tidur, pemindahan ambulasi. Kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan otot.
Kriteria hasilnya adalah melakukan kembali/ mempertahankan posisi fungsi optimal, mempertahankan/ meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit, mendemonstrasikan teknik/ perilaku yang memungkinkan dilakukannya kembali aktivitas, mempertahankan integritas kulit, kandung kemih dan fungsi usus.
Intervensinya adalah kaji derajat imobilisasi (skala 0-4). Ubah posisi pasien secara teratur, pertahankan kesejajaran posisi tubuh secara fungisional, berikan/ bantu untuk melakukan latihan rentang gerak, tingkat aktivitas dan partisipasi dalam merawat diri sesuai dengan kemampuan, berikan perawatan kulit cermat, masase dengan pelembab dan ganti linen tersebut dengan bersih, pantau pola eliminasi (Doenges, 2000: 282).
4. Resiko tinggi tehadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, prosedur infasive.
Kriteria hasilnya adalah tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, color, dolor, tumor dan penurunan fungsi) mencapai penyembuahan luka tepat waktu bila ada.
Intervensinya adalah berikan terknik septik dan antiseptik, observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat infasive, pantau suhu tubuh secara teratur, anjurkan untuk melakukan nafas dalam, kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi (Doenges, M.E, 2000: 284).
5. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrisi, kelemahan otot untuk mengunyah dan menelan.
Kriteria hasilnya adalah kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan, tidak mengalami tanda-tanda mal nutrisi.
Intervesinya adalah kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi, auskultasi bising usus, timbang berat badan sesuai indikasi, jaga keamanan saat memberikan makan pasien, tinggikan kepala tempat tidur, berikan makan dalam jumlah kecil dalam waktu yang sering dan teratur. Kolaborasi yaitu dengan ahli gizi, pantau pemeriksaan laboratoriun, berikan makan dengan cara yang sesuai dengan indikasi (Doenges, 2000: 286).
6. Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakit dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal informasi/ sumber.
Kriteria hasilnya adalah berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan, melakukan prosedur yang diperlukan dengan benar.
Intervensinya adalah evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan juga keluarganya, berikan kembali informasi kembali yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh sesudahnya, diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri, berikan instruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal mengenai aktivitas, obat dan faktor penting, identifikasi sumber-sumber yang berada di masyarakat (Doenges, 2000: 289).
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
Kriteria hasilnya adalah mentoleransi aktivitas yang biasanya dilakukan dan ditunjukkan dengan daya tahan, penghematan energi dan perawatan diri Ativitas Kehidupan Sehari-hari (AKSI)
Intervensinya adalah terapi aktivitas: saran tentang bantuan dalan aktivitas fisik, kognitif, social dan spiritual yang spesifik unru meningkatkan rentang, frekuensi atau durasi aktivitas individu (atau kelompok), pengolahan energi: pengaturan penggunaan energi untuk merawat atau mencegah kelelahan da mengoptimalkan fungsi (Nic dan Noc, 2008: 4)
8. Gangguan rasa nyaman nyeri local berhubungan dengan penekanan intrakranial dan penurunan suplai oksigen ke otak (hipoksia).
Kriteria hasilnya adalah pasien tidak mengeluh nyeri, hematoma dan pembengkakan hilang atau berkurang, pasien dapat beristirahat dengan tenang.
Intervensinya adalah kaji tipe, lokasi dan durasi nyeri, jelaskan patologis terjadinya nyeri akibat daripada cedera, batasi daerah yang cedera, kaji perubahan intensitas nyeri, observasi tanda-tanda vital, ajarkan teknik relaksasi dan distraksi, observasi perubahan perilaku terhadap perasaan tidak nyaman, kolaborasi pemberian analgertik (Wahidi, & Aryati, 1996: 54).
9. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri
Kriteria hasilnya adalah pasien dapat beristirahat/ tidur dengan tenang, tidak ada gangguan tidur, mata tidak tampak sayu, dan wajah tidak tampak kusam.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rencana tindakan yang akan dilaksanakan yaitu: kaji pola tidur, ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman, batasi pengunjung, jelaskan pentingnya arti tidur, berikan posisi yang nyaman, anjurkan untuk melakukan teknik distraksi dan relaksasi jika nyeri timbul.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

askep cedera kepaLA

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN CEDERA KEPALA
• Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)

• Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):
1. Minor
• SKG 13 – 15
• Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
• Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
1. Sedang
• SKG 9 – 12
• Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
• Dapat mengalami fraktur tengkorak.
1. Berat
• SKG 3 – 8
• Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
• Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

• Etiologi
• Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
• Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
• Cedera akibat kekerasan.

• Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.

• Manifestasi Klinis
• Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
• Kebungungan
• Iritabel
• Pucat
• Mual dan muntah
• Pusing kepala
• Terdapat hematoma
• Kecemasan
• Sukar untuk dibangunkan
• Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

• Komplikasi
• Hemorrhagie
• Infeksi
• Edema
• Herniasi

• Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
• Rotgen Foto
• CT Scan
• MRI

• Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.

• Rencana Pemulangan
1. Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
2. Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari pemberian obat.
4. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah, mempertahankan jalan nafas selama kejang.
5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik.
6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
8. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
• Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
• Pemeriksaan fisik
• Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)
• Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
• Sistem saraf :
• Kesadaran à GCS.
• Fungsi saraf kranial à trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
• Fungsi sensori-motor à adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
• Sistem pencernaan
• Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar à tanyakan pola makan?
• Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
• Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
• Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik à hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
• Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan à disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
• Psikososial à data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.

B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
1. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
8. Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.

• Intervensi Keperawatan
• Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan : Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi :
• Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
• Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra.
• Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan pengisapan lendir.
• Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
• Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 – 30 derajat.
• Pemberian oksigen sesuai program.

• Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi :
• Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk menurunkan tekanan vena jugularis.
• Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
• peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau suction, perkusi).
• tekanan pada vena leher.
• pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena leher).
• Bila akan memiringkan anak, harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan).
• Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.
• Hindari tangisan pada anak, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic, hindari percakapan yang emosional.
• Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai program.
• Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat meningkatkan edema serebral.
• Monitor intake dan out put.
• Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
• Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan pemenuhan nutrisi.
• Libatkan orang tua dalam perawatan anak dan jelaskan hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

• Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
Tujuan : Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi :
• Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum, mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.
• Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
• Perawatan kateter bila terpasang.
• Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan BAB.
• Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.

• Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.

Intervensi :
• Kaji intake dan out put.
• Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine.
• Berikan cairan intra vena sesuai program.

• Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan : Anak terbebas dari injuri.
Intervensi :
• Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang.
• Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
• Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan protokol.
• Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
• Berikan analgetik sesuai program.

• Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Tujuan : Anak akan merasa nyaman yang ditandai dengan anak tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
• Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin.
• Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri.
• Kurangi rangsangan.
• Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
• Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
• Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
• Resiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.
Tujuan : Anak akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal.
Intervensi :
• Kaji adanya drainage pada area luka.
• Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
• Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
• Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang.

• Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Tujuan : Anak dan orang tua akan menunjukkan rasa cemas berkurang yang ditandai dengan tidak gelisah dan orang tua dapat mengekspresikan perasaan tentang kondisi dan aktif dalam perawatan anak.
Intervensi :
• Jelaskan pada anak dan orang tua tentang prosedur yang akan dilakukan, dan tujuannya.
• Anjurkan orang tua untuk selalu berada di samping anak.
• Ajarkan anak dan orang tua untuk mengekspresikan perasaan.
• Gunakan komunikasi terapeutik.

• Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda gangguan integritas kulit yang ditandai dengan kulit tetap utuh.
Intervensi :
• Lakukan latihan pergerakan (ROM).
• Pertahankan posisi postur tubuh yang sesuai.
• Rubah posisi setiap 2 jam sekali atau sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak.
• Kaji area kulit: adanya lecet.
• Lakukan “back rub” setelah mandi di area yang potensial menimbulkan lecet dan pelan-pelan agar tidak menimbulkan nyeri.

KESIMPULAN

Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi cedera kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang diakibatkan oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi).
Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral, laserasi atau hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala menyebabkan berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada akhirnya menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah dan PTIK). Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta cedera otak menyebar yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh.
Komplikasi dari trauma kepala adalah hemorragi, infeksi, odema dan herniasi. Penatalaksanaan pada pasien dengan trauma kepala adalah dilakukan observasi dalam 24 jam, tirah baring, jika pasien muntah harus dipuasakan terlebih dahulu dan kolaborasi untuk pemberian program terapi serta tindakan pembedahan.


DAFTAR PUSTAKA

• Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak , Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto; 2001.
• Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik , Volume II. Jakarta: EGC; 1996.
• Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik . Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000.
• Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah . Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

mengukur GCS


STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
MENGUKUR GLASGOW COMA SCALE


Nama pasien : Tn.K

Diagnosa medis : stroke non hemoragik

1. Kondisi klien
a. Alasan MRS
Mengeluh badan terasa lemah, tiba-tiba tidak sadarkan diri setelah sadar, klien merasakan tubuh bagian kiri (tangan dan kaki) tidak bisa digerakkan
b. TTV
RR : 28 x/mnt S : 36,50 C
Nadi : 84 x/mnt TD : 150/90 mmHg
c. Data fokus
1) Data Subyektif : pasien mengeluh kaki sebelah kiri masih lemah dan tidak bisa digerakkan
2) Data Obyektif : klien tampak terbaring di tempak tidur, semua kebutuhan di Bantu oleh keluarga
2. Diagnosa keperawatan
Gangguan mobilitas fisik b.d. kerusakan neuromuskuler, kelemahan, hemiparese
3. Tujuan khusus
Mengetahuit tingkat kesadaran pasien
4. Tindakan keperawatan
Mengukur GCS

SOP TINDAKAN MENGUKUR GCS
LOGO
Tindakan keperawatan mengukur GCS
No. Dokumen No.Revisi Halaman
STANDAR PELAYANAN KEPERAWATAN Tanggal Berlaku Ditetapkan di :........
Direktur


Pengertian GCS merupakan suatu tindakan yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pederita dengan menilai respon penderita terhadap rangsngan yang diberikan
Tujuan Untuk mengetahui tingkat kesadaran penderita
Kebijakan 1. Kebijakan Direktur tentang pelaksanaan penilaian tingkat kesadaran
2. Dilaksanakan oleh perawat
3. Ada pedoman tentang skalatingkat kesadaran
Prosedur 1. Beri salam, panggil pasien dengan namanya, perkenalkan diri
2. Jelaskan prosedur dan tujuan tindakan
3. berikan kesempatan pasien bertanya
4. Menjaga privasi pasien
5. Mengatur hal-hal yang bisa menghalangi tindakan
6. Pasien di siapkan tidur terlentang di tempat tidur
7. cuci tangan
8. Melakukan melakukan pemeriksaan dengan cara-cara sebagai berikut
a. Mata
- Penderita di suruh membuka matanza
- Bila penderita membuka mata secara spontan, scale 4
- Bila penderita menutup mata tetapi dapat diperintah dengan verbal (lisan) untuk membuka matanya, scale 3
- Dengan perintah verbal penderita tidak bisa membuka matanya, tetapi dengan rangangan sakit yaitu dengan memberikan tekanan pada supraorbita, pangkal kuku, sternum bisa membuka matanya, scale 2
- Dengan rangsangan sakit penderita tidak membuka mata, scale 1
b. Motoris
- Penderita disuruh menunjukkan telunjuk kanan atau kiri atau mengangkat tangan kanan atau kiri. Bila penderita dapat mmelaksanakan perintah sesuai dengan perintah yang diberikan, scale 6
- Penderita tidak menurut perintah dan pada pemberian rangsangan sakit di supraorbita penderita berusaha menghindarkan penyebab sakit dengan tangannya sampai melewati daga, scale 5
- Penderita yang dirangsang sakit pada pangkal kukunya hanya berusaha menarik jarinya tetapi tangan yang lain tidak berusaha menghindarkan penyebab sakitnya, scale 4
- Dengan rangsangan sakit di dada maupun di tempat lain penderita tidak melakukan fleksi pada kedua tangannya, scale 3
- Dengan rangsangan sakit klien melakukan ekstensi, scale 2
- Dengan rangsangan apapun penderita tidak bereaksi, scale 1
c. Verbal
Tanyakan pada penderita tentang waktu dan tempat
- Bila penderita dapat menjawab pertanyaan baik waktu maupun tempat, scale 5
- Penderita yang bingung sehingga menjawab pertanyaan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, scale 4
- Penderita menjawab pertanyaan tetapi tidak sesuai dengan pertanyaannya, scale 3
- Penderita berteriak-teriak, hanya mengerang bila di rangsang sakit, scale 2
- Penderita tidak menjawab ataupun bereaksi terhadap rangsangan verbal/sakit, scale 1
9. Mengatur posisi pasien dengan nyaman
10. Membenahi pakaian dan selimut
11. lakukan kontrak selanjutnya
12. Cuci tangan
13. Dokumentasikan tindakan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

perawatan ulkus DM

PERAWATAN LUKA PENDERITA DIABETES MELITUS


PENDAHULUAN
Diabetes Melitus atau penyakit kencing manis adalah penyakit menahun (kronis), yang ditandai oleh kadar glukosa (gula) di dalam darah tinggi. Kadar glkosa darah yang normal pada waktu puasa tidak melebihi 100 mg/dl dan 2 jam sesudah makan kurang dari 140 mg/dl. Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi dapat menyebabkan timbulya gejala-gejala seperti : sering kencing, rasa haus dan rasa lapar yang berlebihan, sering mengalami infeksi, letih lesu, berat badan menurun, dll.
Namun dapat pula terjadi pada beberapa penderita DM yang tidak merasakan gejala-gejala tersebut diatas dan penyakitnya ditemukan secara kebetulan, misalnya pada waktu pemeriksaan kesehatan rutin.
Apabila pada seseorang penderita kencing manis kadar glukosa darahnya tinggi dalam jangka waktu yang lama, maka akan timbul komplikasi menahun (kronis yang mengenai mata menyebabkan gangguan penglihatan bila mengenai sistem syaraf akan menyebabkan gangguan rasa dan gangguan bila mengenai ginjal menyebabkan gangguan fungsi ginjal).
Adapun gambaran luka padapenderita kencing manis dapat berupa: demopati (kelainan kulit berupa bercak-bercak bitam di daerah tulang kering), selulitis (peradangan dan infeksi kulit), nekrobiosisi lipiodika diabetik (berupa luka oval, kronik, tepi keputihan), osteomielitis (infeksi pada tulang) dan gangren (lika kehitaman dan berbau busuk).
TERJADINYA LUKA DIABETIK
Ada beberapa yang mempengaruhi :
1.Neuropati diabetik.
                Adalah kelainan urat saraf akibat DM karena tinggi kadar dalam darah yang bisa merusak urat saraf penderita dan menyebabkan hilang atau menurunnya rasa nyeri pada kaki, sehingga apabila penderita mengalami trauma kadang-kadang tidak terasa.
                Gejala-gejala Neuropati : Kesemitan, rasa panas (wedangan : bahasa jawa), rasa tebal ditelapak kaki, kram, badan sakit semua terutama malam hari.
2.Angiopati Diabetik (Penyempitan pembuluh darah)
                Pembuluh darah besar atau kecil pada penderita DM mudah menyempit dan tersumbat oleh gumpalan darah. Apabila sumbatan terjadi di pembuluh darah sedang/ besar pada tungkai maka tungkai akan mudah mengalami gangren diabetik yaitu luka pada kaki yang merah kehitaman dan berbau busuk. Adapun angiopati menyebabkan asupan nutrisi, oksigen serta antibiotik terganggu sehingga menyebabkan kulit sulit sembuh.
3.Infeksi
                Infeksi sering merupakan komplikasi akibat berkurangnya aliran listrik (neoropati)
PERAWATAN KAKI PENDERITA DM.
                Mengingat segala kemungkinan dapat terjadi pada penderita DM akibat gangguan pembuluh darah maupun syarafnya, maka perlu dilakukan tindakan pencegahan agar tidak terjadi luka, sebagai berikut:
1.       Penderita harus mencuci kakinya setiap hari dengan teratur, sesudah dicuci dikeringkan dengan seksama (terutama pada sela-sela jari kaki)
2.       Dapat dipakai bedak atau lotion.
3.       Pada penderita dengan komplkasi kronis DM, sebaiknya jangan menggunakan air hangat atau air panas untuk merendam kaki, oleh karena kepekaan rasa di kaki untuk panas berkurang sehingga penderita tidak merasakan apa-apa, walaupun kakinya melepuh.
4.       Apabila penderita merasa kakinya dingin, sebaiknya memakai kaos kaki, Sebaiknya memilih kaos kaki yang bahannya wol atau katun. Kaos kaki tersebut sebaiknya juga dipakai sewaktu tidur.
5.       Apabila memakai sepatu atau sandal, perlu diperiksa apakah alas kakinya licin dan rata.
6.       Apabila membeli sepatu baru, sebaiknya diperhatikan : sepatu jangan terlalu sempit, sebaiknya sepatu yang kulitnya lemas, pada awalnya sepatu tersebut dipakai beberapa jam saja, untuk membiasakan diri.
7.       Pada penderita DM yang mengalami gangguan syaraf sebaiknya jangan berjalan tanpa alas kaki, karena dapat terkena luka tanpa penderita menyadarinya.
8.       Sela-sela jari kaki perlu diperiksa, apakah terdapat luka atau kulit yang pecah-pecah, yang disebabkan oleh jamur kaki. Bila ada, cepat pergi ke dokter untuk diobati.
LUKA-LUKA DI KAKI
Perlu diperhatikan.
                Setiap hari kaki harus diperiksa dengan seksama minimal 1 kali. Ini sangat penting untuk menemukan luka secara dini atau perubahan warna kulit seperti kemerahan, jangan sungkan untuk pergi ke dokter walaupun hanya luka-luka kecil sekalipun.
aPengalaman merawat luka pada penderita DM.
                Berikut adalah kasus perawatan ulkus DM terinfeksi dengan abses besar di sisi lateral metakarpal dextra (kanan). Perawatan ulkus ini mengenai pasien wanita berusia 40 tahun yang dirujuk ke klinik rawat jalan dengan kasus gawat darurat label kuning 2 (gawat tidak darurat) kondisi saat ini terdapat luka terbuka, diatas metakarpal dextra sudah berlangsung 2 minggu, pasien mulai murung dan stres karena tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari serta bekerja sebagai pedagang kain dengan alam terbuka.
                Dari pemeriksaan diketahui terdapat luka terbuka berukuran 10 x 7 cm pada sisi lateral metakapral dextra, dibawah luka terdapat luka yang berfluktuasi, dan seluruh daerah kemerahan serta sudah mulai terdapat nekrose (jaringan mati) pada permukaan kulit. Parawatan luka ini tidak terlalu rumit apabila ada kerjasama antara pasien dengan petugas kesehatan, pasien bersedia dilakukan perawatan secara rutin dengan keyakinan luka akan sembuh. Perawat melakukan perawatan dengan sabar dan teliti serta profesional.
                Sebelum kita melakukan perawatan luka periksa GDS (Gula Darah Sewaktu) kemudian baru kita lakukan tindakan incisi abses serta nekrotomi sebelumnya kita berikan cairan antiseptik dengan betadin cair dan anestesi untuk menghilangkan rasa sakit, kaluarkan semua pus (nanah), gunting jaringan yang mati atau yang berwarna hitam, cuci dengan perhidrol kemudian bilas dengan cairan Na Cl 0,9 %, pasang tampon dengan betadin yang diencerkan dengan Na Cl 1:1 selama masih ada pus dan diganti setiap hari, apabila luka sudah menjadi gangren atau busuk, untuk perawatannya setelah digunting jaringan yang mati dan dikeluarkannya nanah kita lakukan kompres revanol dicampur norit dengan perbandingan 2 : 100 CC berfungsi untuk menyerap pus (nanah) agar bau busuk hilang, dilakukan tiap hari dan rutin hingga luka membaik. Setelah luka bersih dan tidak ada pus baru kita lakukan rawat luka dengan terapi gentamicin salep dan bioplacenton (untuk menumbuhkan jaringan). Demikian hasil dari perawatan luka dengan perawatan sederhana dapat dijangkau dan dapat dilakukan tanpa rawat inap.-IGD-


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

GIZI LANSIA

Setiap mahluk hidup membutuhkan makanan untuk mempertahankan kehidupannya, karena didalam makanan terdapat zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh untuk melakukan kegiatan metabolismenya. Bagi lansia pemenuhan kebutuhan gizi yang diberikan dengan baik dapat membantu dalam proses beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang dialaminya selain itu dapat menjaga kelangsungan pergantian sel-sel tubuh sehingga dapat memperpanjang usia.

Kebutuhan kalori pada lansia berkurang karena berkurangnya kalori dasar dari kebutuhan fisik. Kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk malakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat, misalnya : untuk jantung, usus, pernafasan dan ginjal.

Berdasarkan kegunaannya bagi tubuh, zat gizi dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu :

1. Kelompok zat energi, termasuk ke dalam kelompok ini adalah :
  • Bahan makanan yang mengandung karbohidrat seperti beras, jagung, gandum, ubi, roti, singkong dan lain-lain, selain itu dalam bentuk gula seperti gula, sirup, madu dan lain-lain.
  • Bahan makanan yang mengandung lemak seperti minyak, santan, mentega, margarine, susu dan hasil olahannya.

2. Kelompok zat pembangun
Kelompok ini meliputi makanan – makanan yang banyak mengandung protein, baik protein hewani maupun nabati, seperti daging, ikan, susu, telur, kacangkacangan dan olahannya.

3. Kelompok zat pengatur
Kelompok ini meliputi bahan-bahan yang banyak mengandung vitamin dan mineral, seperti buah-buahan dan sayuran.


B. Faktor yang mepengaruhi Kebutuhan Gizi pada Lansia
  • Berkurangnya kemampuan mencerna makanan akibat kerusakan gigi atau ompong.
  • Berkurangnya indera pengecapan mengakibatkan penurunan terhadap cita rasa manis, asin, asam, dan pahit.
  • Esophagus/kerongkongan mengalami pelebaran.
  • Rasa lapar menurun, asam lambung menurun.
  • Gerakan usus atau gerak peristaltic lemah dan biasanya menimbulkan konstipasi.
  • Penyerapan makanan di usus menurun.


C. Masalah Gizi pada Lansia

1. Gizi berlebih
Gizi berlebih pada lansia banyak terjadi di negara-negara barat dan kota-kota besar. Kebiasaan makan banyak pada waktu muda menyebabkan berat badan berlebih, apalai pada lansia penggunaan kalori berkurang karena berkurangnya aktivitas fisik. Kebiasaan makan itu sulit untuk diubah walaupun disadari untuk mengurangi makan.
Kegemukan merupakan salah satu pencetus berbagai penyakit, misalnya : penyakit jantung, kencing manis, dan darah tinggi.

2. Gizi kurang
Gizi kurang sering disebabkan oleh masalah-masalah social ekonomi dan juga karena gangguan penyakit. Bila konsumsi kalori terlalu rendah dari yang dibutuhkan menyebabkan berat badan kurang dari normal. Apabila hal ini disertai dengan kekurangan protein menyebabkan kerusakan-kerusakan sel yang tidak dapat diperbaiki, akibatnya rambut rontok, daya tahan terhadap penyakit menurun, kemungkinan akan mudah terkena infeksi.

3. Kekurangan vitamin
Bila konsumsi buah dan sayuran dalam makanan kurang dan ditambah dengan kekurangan protein dalam makanan akibatnya nafsu makan berkurang, penglihatan menurun, kulit kering, penampilan menjadi lesu dan tidak bersemangat.


D. Pemantauan Status Nutrisi

1. Penimbangan Berat Badan
a. Penimbangan BB dilakukan secara teratur minimal 1 minggu sekali, waspadai peningkatan BB atau penurunan BB lebih dari 0.5 Kg/minggu. Peningkatan BB lebih dari 0.5 Kg dalam 1 minggu beresiko terhadap kelebihan berat badan dan penurunan berat badan lebih dari 0.5 Kg /minggu menunjukkan kekurangan berat badan.
b. Menghitung berat badan ideal pada dewasa :
Rumus : Berat badan ideal = 0.9 x (TB dalam cm – 100)
Catatan untuk wanita dengan TB kurang dari 150 cm dan pria dengan TB kurang dari 160 cm, digunakan rumus :
Berat badan ideal = TB dalam cm – 100
Jika BB lebih dari ideal artinya gizi berlebih
Jika BB kurang dari ideal artinya gizi kurang

2. Kekurangan kalori protein
Waspadai lansia dengan riwayat : Pendapatan yang kurang, kurang bersosialisasi, hidup sendirian, kehilangan pasangan hidup atau teman, kesulitan mengunyah, pemasangan gigi palsu yang kurang tepat, sulit untuk menyiapkan makanan, sering mangkonsumsi obat-obatan yang mangganggu nafsu makan, nafsu makan berkurang, makanan yang ditawarkan tidak mengundang selera. Karena hal ini dapat menurunkan asupan protein bagi lansia, akibatnya lansia menjadi lebih mudah sakit dan tidak bersemangat.

3. Kekurangan vitamin D
Biasanya terjadi pada lansia yang kurang mendapatkan paparan sinar matahari, jarang atau tidak pernah minum susu, dan kurang mengkonsumsi vitamin D yang banyak terkandung pada ikan, hati, susu dan produk olahannya.


E. Perencanaan Makanan untuk Lansia

- Perencanaan makan secara umum

1. Makanan harus mengandung zat gizi dari makanan yang beraneka ragam, yang terdiri dari : zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur.

2. Perlu diperhatikan porsi makanan, jangan terlalu kenyang. Porsi makan hendaknya diatur merata dalam satu hari sehingga dapat makan lebih sering dengan porsi yang kecil.
Contoh menu :
  • Pagi : Bubur ayam
  • Jam 10.00 : Roti
  • Siang : Nasi, pindang telur, sup, pepaya
  • Jam 16.00 : Nagasari
  • Malam : Nasi, sayur bayam, tempe goreng, pepes ikan, pisang

3. Banyak minum dan kurangi garam, dengan banyak minum dapat memperlancar pengeluaran sisa makanan, dan menghindari makanan yang terlalu asin akan memperingan kerja ginjal serta mencegah kemungkinan terjadinya darah tinggi.

4. Batasi makanan yang manis-manis atau gula, minyak dan makanan yang berlemak seperti santan, mentega dll.

5. Bagi pasien lansia yang prose penuaannya sudah lebih lanjut perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
  • Makanlah makanan yang mudah dicerna
  • Hindari makanan yang terlalu manis, gurih, dan goring-gorengan
  • Bila kesulitan mengunyah karena gigirusak atau gigi palsu kurang baik, makanan harus lunak/lembek atau dicincang
  • Makan dalam porsi kecil tetapi sering
  • Makanan selingan atau snack, susu, buah, dan sari buah sebaiknya diberikan

6. Batasi minum kopi atau teh, boleh diberikan tetapi harus diencerkan sebab berguna pula untuk merangsang gerakan usus dan menambah nafsu makan.

7. Makanan mengandung zat besi seperti : kacang-kacangan, hati, telur, daging rendah lemak, bayam, dan sayuran hijau.

8. Lebih dianjurkan untuk mengolah makanan dengan cara dikukus, direbus, atau dipanggang kurangi makanan yang digoreng

- Perencanaan makan untuk mengatasi perubahan saluran cerna

Untuk mengurangi resiko konstipasi dan hemoroid :
  1. Sarankan untuk mengkonsumsi makanan berserat tinggi setiap hari, seperti sayuran dan buah-buahan segar, roti dan sereal.
  2. Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 8 gelas cairan setiap hari untuk melembutkan feses.
  3. Anjurkan untuk tidak menggunakan laksatif secara rutin , karena pasien akan menjadi tergantung pada laksatif.


F. Cara Memberi Makan Melalui Mulut (oral)
  1. Siapkan makanan dan minuman yang akan diberikan
  2. Posisikan pasien duduk atau setengah duduk.
  3. Berikan sedikit minum air hangat sebelum makan.
  4. Biarkan pasien untuk mengosongkan mulutnya setelah setiap sendokan.
  5. Selaraskan kecepatan pemberian makan dengan kesiapan pasien, tanyakan pemberian makan terlalu cepat atau lambat.
  6. Perbolehkan pasien untuk menunjukkan perintah tentang makanan pilihan pasien yang ingin dimakan.
  7. Setelah selesai makan, posisi pasien tetap dipertahankan selama ± 30 menit.


G. Prinsip Pemberian Makan Melalui Sonde (NGT)

Pemberian makan melalui sonde ditujukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien yang memiliki masalah dalam menelan dan mengunyah makanan, seperti pada pasien-pasien stoke. Adapun prinsip pemberiannya adalah sebagai berikut :
  1. Siapkan makanan cair dan minuman hangat
  2. Naikkan bagian kepala tempat tidur 30 – 45 derajat pada saat memberi makan dan 30 menit setelah memberi makan.
  3. Bilas selang sonde dengan air hangat terlebih dahulu.
  4. Pastikan tidak ada udara yang masuk ke dalam sonde pada saat memberi makan atau air. Pastikan pula selang dalam keadaan tertutup selama tidak diberi makan.
  5. Periksa kerekatan selang, jika selang longgar beritahu perawat.
  6. Laporkan adanya mual dan muntah dengan segera.
  7. Lakukan perawatan kebersihan mulut dengan sering.

H. Contoh Bahan Makanan untuk Setiap Kelompok Makanan
  1. Bahan makanan sumber karbohidrat (zat energi) : nasi, bubur beras, nasi jagung, kentang, singkong, ubi, talas, biskuit, roti , crakers, maizena, tepung beras, tepung terigu, tepung hunkwe, mie, bihun.
  2. Bahan makanan sumber lemak (zat energi) : Minyak goreng, minyak ikan, margarin, kelapa, kelapa parut, santan, lemak daging.
  3. Bahan makanan sumber protein hewani : Daging sapi, daging ayam, hati, babat, usus, telur, ikan, udang.
  4. Bahan makanan sumber protein nabati : Kacang ijo, kacang kedelai, kacang merah, kacang tanah, oncom, tahu, tempe.


I. Prinsip Lima benar Pemberian Obat Oral
  1. Benar obat : obat yang diberikan harus sesuai dengan resep dokter.
  2. Benar dosis : jumlah obat yang diberikan tidak dikurangi atau dilebihkan. Penting diingat jenis obat antibiotik harus diberikan sampai habis.
  3. Benar pasien : Pastikan obat diminum oleh pasien yang bersangkutan.
  4. Benar cara pemberian yaitu melalui oral : berikan obat melalui mulut atau sonde.
  5. Benar waktu : Pastikan pemberian obat tepat pada jadwalnya, misalnya 3 x 1 berarti obat diberikan setiap 8 jam dalam 24 jam ; jika 2 x1 berarti obat diberikan setiap 12 jam sekali.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

DEKUBITUS

DEKUBITUS

I. Pengertian
Dekubitus sering disebut ulkus dermal / ulkus dekubitus atau luka tekan terjadi akibat tekanan yang sama pada suatu bagian tubuh yang mengganggu sirkulasi. Pertama jaringan kulit memerah. Jika sel mati (nekrosis) akibat kurang nutrisi kulit rusak dan pembentukan ulkus. Akibatnya luka baring menjadi lebih besar dan dalam.
Tempat – tempat yang paling sering mengetahui dekubitus, antara lain :
a.Siku e. Pinggul
b.Tumit f. Mata Kaki
c.Bahu g. Telinga
d.Sakrum
Dekubitus umum terjadi pada :
a.Pasien Lansia
b.Pasien yang sangat kurus
c.Pasien kegemukan (Obesitas)
d.Pasien yang tak dapat bergerak
e.Pasien Inkohtivensia
f.Pasien Lemah
Pencegahan Dekubitus
Karena dekubitus lebih mudah dicegah dari diobati, maka sedini mungkin harus dicegah dengan cara :
a.Merubah posisi pasien sedikitnya 2 jam sekali.
b.Anjurkan pasien untuk duduk dikursi roda atau seri gery untuk menegakkan mereka setiap 10 menit untuk mengurangi tekaan atau membantu pasien melakukannya.
c.Anjurkan masukan cairan dan nutrisi yang tepat dan adekuat. Karena kerusakan kulit lebih mudah terjadi dan lambat untuk sembuh jika nutrisi pasien buruk.
d.Segera membersihkan feses atau urin dari kulit karena bersifat iritatif terhadap kulit.
e.Inspeksi daerah dekubitus umum terjadi, laporkan adanya area kemerahan dengan segera.
f.Jaga agar kulit tetap kering
g.Jaga agar linen tetap sering dan bebas dari kerutan
h.Beri perhatian khusus pada daerah – daerah yang beresiko terjadi dekubitu.
i.Masase sekitar daerah kemerahan dengan sering menggunakan losion
j.Jangan gunakan losion pada kulit yang rusak
k.Beri sedikit bedak tabur pada area pergesekan tapi jangan biarkan menumpuk.menggumpal
l.Gunakan kain pengalas bila memindahkan pasien tirah baring
m.Lakukan latihan serak minimal 2x sehari untuk mencegah kontraktur
n.Gunakan kasur busa, kasur kulit atau kasur perubah tekanan.
Pengobatan / Intervensi
Tahap – tahap kerusakan jaringan. Kerusakan jaringan terjadi dalam 4 tahap, maka dari itu pengobatan atau intervensi keperawatan pada tiap tahap/dapat membatasi proses dan menghindari kerusakan lebih lanjut. Tahap satui, yang ditandai dengan :
1. Kulit menjadi kemerahan, akan berubah warna biru ke abu – abuan disekitar daerah yang mengalami tekanan. Pada orang yang berkulit gelap daerah tersebut terlihat lebih kering.
a. Beritahui perawat
b. Masase dengan sambur bagian luar daerah yang kemerahan
c. Jaga agar area sekitar kulit yang rusak tetap bersih dan kering
d. Kurangi semua tekanan berlebihan pada area tersebut
e. Menganjurkan diet bergizi dan cairan yang adekuat
f. Jaga agar kulit yang rusak tetap tertutup sesuai instruksi, biasanya dengan balutan steril kering atau penutup proteksif lainnya.
g. Lakukan pengobatan dengan lampu panas sesuai instruksi dokter
h. Tempatkan pasien pada matras egrate, agar berat badan terdistritansi ke seluruh permukaannya dan memberikan sirkulasi udara.
i. Laporkan indikasi infeksi seperti bau atau drainase, pendarahan dan perubahan ukuran.
j. Pokumatasikan adanya area yang potensia rusak pada catatan pasien menggunakan kata – kata dan diagram.
Tahap dua, yang ditandai dengan :
1. Kulit memerah dan terdapat lesi seperti suka melepuh didaerah tersebut, kulit bisa rusak atau tidak.
Tindakan
a. Pindahkan tekanan dengan mengganti posisi pasien
b. Masase dengan lembut daerah sekitar area yang memerah untuk mencegah pembentukan luka baring.
c. Laporkan ke perawat
d. Dokumentasikan pada catatan perawatan
Tahap tiga, yang diotandai dengan :
1. Semua lapisan kulit rusak,
Tindakan.
a. Perawatan yang diabaikan sama dengan perawatan tahap – tahap dan dilanjutkan dengan tepat jika berlanjut ke tahap 3.
b. Untuk mencegah infeksi perawar dapat mencari daerah luka dengan bahan bakteriostatik misalnya : Phisonex, cara klens, dan Bioleks, pengobatan spesifik bervariasi sesuai dengan instruksi dokter.
c. Jika ada jaringan mati (nevkrotik) salep yang mengangkat jaringan mati (debinderment) dari luka, tersebut dapat diinstruksikan. Pengobatan ini dilakukan oleh dokter atau perawat.
d. Pada beberapa fasilitas, lesi terbuka ditutup tidak terlalu ketat dengan kasa yang direndam dengan Ed. Carrington, yang menjaga agar lesi tetap lambat dan meningkatkan penyembuhan dan debidemen sendiri.
e. Suka dijaga agar tetap lembab dengan menutupinya menggunakan hidrokoloid seperti kembaran tipis dinoderm. Kmudian diplester
f. Ganti balutan setiap 3 sampai 5 hari, kecuali jika balutan tersebut bocor.
g. Pada kasus yang parah, pembedahan mungkin diperlukan untuk menutupi daerah ulkus.
Tahap empat, ditandai dengan :
1. Ulkus meluas, menembus kulit jaringan subtenta, dan dapat melibatkan tentang, otot dan struktur – struktur lainnya.
Tindakan
a. Lanjutkan tindakan yang dighuanakn pada tahap sebelumnya
b. Pengkajian yang konstan terhadap kerusakan kulit meliputi pengukurn luas luka dan mengobservasi dan mengevaluasi penyembuhan.
Sumber : Buku Asisten Keperawatan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

ALZHEIMER

ASKEP ALZHEIMER

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Alzheimer ditemukan pertama kali pada tahun 1907 oleh seorang ahli psikiatri dan neuropatologi yang bernama Alois Alzheimer. Ia mengobservasi seorang wanita berumur 51 tahun, yang mengalami gangguan intelektual dan memori serta tidak mengetahui kembali ketempat tinggalnya, sedangkan wanita itu tidak mengalami gangguan anggota gerak koordinasi dan reflek. Pada autopsy tampak bagian otak mengalami atropi yang difus dan simetris, dan secara mikroskopis tampak bagian kortikal otak mengalami neuritis plaque dan degenerasi neurofibrillary.
Secara epidemiologi dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup pada berbagai populasi, maka jumlah orang berusia lanjut akan semakin meningkat. Dilain pihak akan menimbulkan masalah serius dalam bidang social ekonomi dan kesehatan, sehingga akan semakin banyak yang berkonsultasi dengan seorang neurology karena orang tua tersebut yang tadinya sehat, akan mulai kehilangan kemampuannya secara efektif sebagai pekerja atau sebagai anggota keluarga. Hal ini menunjukan munculnya penyakit degeneratife otak, tumor, multiple stroke, subdural hematoma atau penyakit depresi yang merupakan penyebab utama demensia.
Isilah demensia digunakan untuk menggambarkan sindrom klinis dengan gejala menurunnya daya ingat dan hilangnya fungsi intelek lainnya. Defenisi demensia menurut unit Neurobehavior pada boston veterans Administration Medikal Center (BVAMC) adalah kelainan fungsi intelek yang didapat dan bersifat menetap, dengan adanya gangguan paling sedikit 3 dari 5 komponen fungsi luhur yaitu gangguan bahasa, memori, visuospasial, emosi dan kognisi.
Penyebab pertama penderita demensia adalah penyakit alzeimer (50-60) dan kedua oleh cerebrovaskuler (20). Diperkirakan penderita demensia terutama penderita Alzheimer pada abad terakhir ini semakin meningkat jumlah kasusnya sehingga akan mungkin menjadi epidemic seperti di Amerika dengan insiden demensia 187 populisi /100.000/tahun dan penderita alzeimer 123/100.000/tahun serta penyebab kematian keempat atau kelima
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum
 Mengetahui apa itu Alzheimer ?
2. Tujuan khusus
 Mengetahui pengertian Alzheimer ?
 Mengetahui etiologi Alzheimer ?


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFENISI
Penyakit Alzheimer adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan, yang terutama menyerang orang berusia 65 tahun keatas (patofiologi : konsep klinis proses- proses penyakit, Juga merupakan penyakit dengan gangguandegenarif yang mengenai sel-sel otak dan menyebabkan gangguan fungsi intelektual, penyakit ini timbul pada pria dan wanita dan menurut dokumen terjadi pada orang tertentu pada usia 40 tahun (Perawatan Medikal Bedah : jilid 1 hal 1003). Hal tersebut berkaitan dengan lebih tingginya harapan hidup pada masyarakat di Negara maju, sehingga populasi penduduk lanjut usia juga bertambah.
II. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternative penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi flament, predisposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit Alzheimer terdiri dari degerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kongnitif dengan penurunan daya ingat secara progresif. Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan calcium intraseluler, kegagalan metabolism energy, adanya formasi radikal bebas atau terdapat produksi protein abnormal yang non spesifik. Penyakit Alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor genetika.

III. MANIFESTASI KLINIS
Gejala Alzheimer Berdasarkan National Alzheimer ‘s Association (2003), dibagi menjadi 3 tahap, yaitu :
a. Gejala Ringan (lama penyakit 1-3 tahun)
Lebih sering binggung dan melupakan informasi yang baru dipelajari
Diorintasi : tersesat di daerah sekitar yang dikenalnya dengan baik
Bermasalah dalam melaksanakan tugas rutin
Mengalami perubahan dalam kepribadian dan penilaian misalnya mudah tersinggung,mudah menuduh ada yang mengambil barangnya bahkan menuduh pasangannya tidaj setia lagi/selingkuh.
b. Gejala sedang (lama penyakit 3-10 tahun)
Kesulitan dalam mengerjakan aktifitas hidup sehari –hari seperti makan dan mandi
Perubahan tingkah laku misalnya : sedih dan emosi
Mengalami gangguan tidur
Keluyuran
Kesulitan mengenali keluarga dan teman(pertama-tama yang akan sulit untuk dikenali adalah orang-orang yang paling jarang ditemuinya, mulai dari nama, hingga tidak mengenali wajah sama sekali. Kemudian bertahap kepada orang-orang yang cukup jarang ditemui.)
c. Gejala berat (lama penyakit 8-12 tahun)
Sulit / kehilangan kemampuan berbicara
Kehilangan napsu makan, menurunya berat badan
Sangat tergantung pada caregiver/pengasuh
Perubahan perilaku misalnya : Mudah curiga, depresi, apatis atau mudah mengamuk

IV. PATOGENESIS
1. Faktor Genetik
Beberapa penelitian mengungkapkan 50 prevalensi kasus alzheimer ini diturunkan melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan garis pertama pada keluarga penderita Alzheimer mempunyai resiko menderita dimension 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok control normal pemeriksaan genetika DNA pada penderitaan Alzheimer dengan familial earli onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21, diregio proksimal log arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan lokus pada kromosom 19. Begitu pula pada penderita down sindrom mempunyai kelainan gen kromosom 21, setelah berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT), senile plague dan penurunan market kolinegik pada jaringan otaknya yang mengambarkan kelainan histopatologi pada penderita alzheimer .Hasil penelitian penyakit Alzheimer terdapat anak kembar menunjukan 40-50 adalah monozygote dan 50 adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetic berperan dalam penyakit Alzheimer. Pada sporadic non familial (50-70), beberapa penderitanya ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukan bahwa kemungkunan faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika pada Alzheimer.

2. Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukan penyebab infeksi pada keluarga penderita Alzheimer yang dilakukan secara immune blot analisis, ternyata ditemukan adanya antibody reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersifat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti creutzfeldt-jacub dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit Alzheimer. Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain:
a) Manifestasi klinik yang sama
b) Tidak adanya respon imun yang spesifik
c) Adanyan plak amyloid pada susunan saraf pusat
d) Timbulnya gejala mioklonus
e) Adanya gambaran spongioform

3. Faktor lingkungan
Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam patogenesa penyakit Alzheimer. Faktor lingkungan antara lain, aluminium, silicon, mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan neurofibrilary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaannya aluminium adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada penderita Alzheimer, juga ditemukan keadaan ketidakseimbangan merkuri, nitrogen, fosfor,sodium, dengan patogenesa yang belum jelas.Ada dugaan bahwa asam amino glutamate akan menyebabkan depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (cairan-influks) dan menyebabkan kerusakan metabolism energy seluler dengan akibat kerusakan dan kematian neuron.

4. Faktor imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita Alzheimer didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alphan protein, anti typsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli. Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari penderita alzhaimer dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda karena peranan faktor immunitas.

5. Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukan adanya hubungan pemyakit Alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungan dengan petinju yang menderita demensia pugilistic, dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.

6. Faktor neurotransmiter
Perubahan neurotransmiter pada jaringan otak penderita Alzheimer mempunyai peranan yang sangat penting seperti :
a) Asetikolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik neurotransmitter dengan cara biopsy sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita Alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan transport kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya deficit presinaptik kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporalis superior, nucleus basalis, hipokampus. Kelainan neurotransmitter asetilkolin merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis neurotransmitter lainnya pada penyakit Alzheimer, dimana pada jaringan otak/biopsy selalu didapatkan kehilangan cholinergic marker. Pada penelitian dengan pemberian scopolamine pada orang normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit Alzheimer.
b) Noradrenalin
Kadar metabolism norepinefrin dan dopamine didapatkan menurun pada jaringan otak penderita Alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkolerasi dengan deficit kortikal noradrenergik.
Bowen et al (1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak penderita Alzheimer menunjukan adanya defesit noradrenalin pada presinaptik neokorteks. Palmer et al (1987),Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post dan ante-mortem penderita Alzheimer.
c) Dopamine
Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurotransmitter region hypothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan akivitas dopamine pada penderita Alzheimer. Hasil ini masih controversial, kemungkinan disebabkan karena histopatologi region hypothalamus setia penelitian bebeda-beda.
d) Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-indolacetil acil pada biopsy korteks serebri penderita Alzheimer. Penurunan juga didapat pada subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini beghubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada nucleus rephe dorsalis

e) MAO (manoamin oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter monoamine. Akivitas normal MAO A untuk deaminasi serotonin, norepinefrin, dan sebagian kecil dopamine, sedangakan MAO-B untuk deaminasi terutama dopamine. Pada penderita Alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada hipotalamus dan frontalis sedangakan MAO-B pada daerah temporal dan menurun pada nucleus basalis dari meynert.
V. Pemeriksaan penunjang
1.Neuropatologi
Diagnosa definitive tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi. Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris sering kali berat otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr).Beverapa penelitian mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus temporoparietal, anterior frontal sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer, system somatosensorik tetap utuh (jerins 1937) kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit Alzheimer terdiri dari :

a. Neurofibrillary tangles (NFT)
Merupakan sitoplasma neuronal yang terbentuk dari filament-filamen abnormal yang berisi protein neurofilamen, hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus seruleus, dorsal raphe dari inti batang otak. NFT selain didapatkan pada penyakit Alzheimer, juga ditemukan pada otak manula,down sindromeparkinson, SSPE, sindroma ekstrapiramidal, supranuklear palsy. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia.
b. Senile plague (SP)
Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending yang berisi filament-filamen abnormal, serat amiloid ekstraseluler, astrosit, microglia. Amloid prekusor protein yang terdapat pada neokorteks, amygdale, hipokampus, korteks somatosensorik, korteks piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks motorik primer, korteks somatosensorik, korteks visual dan auditorik. Senile plague ini juga terdapat pada jaringan perifer. Perry (1987) mengatakan densitas senile plague berhubungan dengan penurunan kolinergi. Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile plague) merupakan gambaran karakteristik untuk penderita penyakit Alzheimer.
c. Degenerasi neuron
Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit Alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan pada neuron pyramidal lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan pada hipokampus, amigdala, nucleus batang otak termasuk lokus seruleus, raphe nucleus dan substanasia nigra. Kematian sel noradrenergic terutama pada nucleus basalis dari meynert, dan sel noradrenergic terutama pada lokus seruleus serta sel serotogenik pada pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang berdegenerasi pada lesi eksperimen binatang dan ini merupakan harapan dalam pengobatan penyakit Alzheimer.
d. Perubahan vakuoler
Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat menggeser nucleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan jumlah NFT dan SP, perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial, amygdale dan insula. Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal, oksipital, hipokampus, serebelum dan batang otak.
e. Lewy body
Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada anterhinal, gyrus cingulated, korteks insula, dan amydala. Sejumlah kecil pada korteks frontalis, temporal, parietalis, oksipitalis. Lewy body kortikal ini sama dengan immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran histopatologi penyakit Parkinson. Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variasi dari penyakit Alzheimer.
2. Pemeriksaan neuropsikologis
Penyakit Alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungis konginitif umum dan mengetahui secara rinci pola deficit yang terjadi. Test psikologis ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa. Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi diagnostic yang penting karena :
a. Adanya deficit konginitif yang berhubungan dengan demensia awal yang dapat diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal.
b. Pemeriksaan neuropsikologi secara kompherensif memungkinkan untuk membedakan kelainan kongnitif pada global demensia dengan defisit selektif yang diakibatkan oleh disfungsi fokal, faktor metabolic, dan gangguan psikiatrik
c. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh demensia karena berbagai penyebab. (CERALD) menyajikan suatu prosedur penilaian neuropsikologis denagn mempergunakan alat baterai yang bermanifestasi gangguan fungsi kongnitif, dimana pemeriksaan terdiri dari :
1.Verbal fluency animal category
2.Modifikasi boston naming test
3.Mini mental state
4.Word list recall
5.Construction praxis
6.Word list memory
7.Word list recognition
Test ini memakan waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada control
3. CT Scan dan MRI
Merupakan metode non invasif yang berevolusi tinggi untuk melihat kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita Alzheimer antemortem. Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya selain Alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh dan pembesaran vertikel keduannya merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada demensia lainnya seperti multiinfark, Parkinson, binswanger sehingga kita sukar untuk membedakan denagn penyakit Alzheimer. Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran vertikel berkorelasi dengan beratnya gejala klinik dan hasil pemeriksaan status mini mental. Pada MRI ditemukan peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (capping anterior home pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain didapatkan kelainan dikortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan fissure sylvii. Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitive untuk membedakan demensia dari penyakit Alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan usuran (atropi) dari hipokampus.
4. EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada penyakit Alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis yang non spesifik.
5.PET (Positron Emission Tomography)
Pada penderita Alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah, metabolisme 02, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat menurun pada regional parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi dan selalu dan sesuai dengan hasil observasi penelitian neuropatologi.
6.SPECT (Single Photon Emission Computet Tomography)
Aktivitas I.123 terendah pada refio parieral penderita Alzheimer. Kelainan ini berkorelasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua pemeriksaan ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin
7.Laboratorium darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita Alzheimer. Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calcium, Posfort, BSE, fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, screening antibody yang dilakukan secara selektif.

VI.Kriteria Diagnosis
Terdapat beberapa kriteria untuk diagnosis klinis penyakit alzhemer yaitu :
1.Kriteria diagnosis tersangka penyakit Alzheimer terdiri dari :
 Demensia ditegakkan dengan pemeriksaan klinik dan pemeriksaan status mini mental atau beberapa pemeriksaan serupa, serta dikonfirmasikan dengan test neuropsikologik
 Didapatkan gangguan defisit fungsi kognisi>2
 Tidak ada gangguan tingkat kesadaran
 Awitan antara umur 40-90 tahun, atau sering > 65 tahun
 Tidak ada kelainan sistematik atau penyakit otak lainnya

2. Diagnosis tersangka penyakit Alzheimer ditunjang oleh:
 Perburukan (gangguan berbahasa)
 ADL terganggu dan perubahan pola tingkah laku
 Adanya riwayat keluarga, khususnya kalau dikonfirmasikan dengan neuropatologi
 Pada gambaran EEG memberiakan gambaran normal atau perubahan non spesifik seperti peningkatan aktivitas gelomabang lambat
 Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan atropu serebri

3.Gambaran lain tersangka diagnosis penyakit Alzheimer setelah dikeluarkan penyebab demensia lainnya terdiri dari :
 Gejala yang berhubungan dengan depresi, insomnia, inkontinensia, delusi, halusinasi, emosi, kelainan seksual, berat badan menurun
 Kelainan neurologi lain pada beberapa pasien, khususnya penyakit pada stadium lanjut dan termasuk tanda-tanda motorik seperti peningkatan tonus otot,mioklonus atau gangguan berjalan
 Terdapat bangkitan pada stadium lanjut
4.Gambaran diagnosis tersangka penyakit Alzheimer yang tidak jelas terdiri dari :
 Awitan mendadak
 Diketemukan gejala neurologic fokal seperti hemiparase, hipestesia, defisit lapangan pandang dan gangguan koordinasi
 Terdapat bangkitan atau gangguan berjalan pada saat awitan
5. Diagnosis klinis kemungkinan penyakit Alzheimer adalah :
 Sindroma demensia, tidak ada gejala neurologic lain, gejala psikiatrik atau kelainan sistemik yang menyebabkan demensia
 Adanya kelainan sistemik sekunder atau kelainan otak yang menyebabkan demensia, defisit kognisi berat secara gradual progresif yang diidentifikasi tidak ada penyebab lainnya

6.Kriteria diagnosis pasti penyakit Alzheimer adalah gabungan dari criteria klinik tersangka penyakit Alzheimer dan didapatkan gambaran histopatologi dari biopsy atau otopsi.
VII.PENATALAKSANAAN
Pengobatan penyakit Alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga. Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum mempunyai efek yang menguntungkan
1.Inhibitor kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk pengobatan simptomatik penyakit Alzheimer, dimana penderita Alzheimer didapatkan penurunan kadar asetilkolin. Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti kolinesterase yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori dan apraksia selama pemberian berlangsung. Beberapa peneliti mengatakan bahwa obat-obatan anti kolinergik akan memperburuk penampilan intelektual pada organ normal dan penderita Alzheimer .
2.Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita Alzheimer didapatkan penurunan thiamin pyrophosphatase dependent enzyme yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nucleus basalis. Pemberian thiamin hidrochloryda dengan dosis 3gr/hari selama tiga bulan peroral, menunjukan perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo selama periode yang sama.
3.Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat memperbaiki fungsi kognisi dan proses belajar pada percobaan binatang. Tetapi pemberian 4000mg pada penderita Alzheimer tidak menunjukan perbaikan klinis yang bermakna.
4.Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita Alzheimer dapat disebabkan kerusakan noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik alpha 2 reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2 mg peroral selama 4 mgg, didapatkan hasil yang kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif.
5.Haloperiodol
Pada penderita Alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi, halusinasi) dan tingkah laku. Pemberian oral haloperiodol 1-5 mg/hari selama 4 mgg akan memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita Alzheimer menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic anti depressant (aminitryptiline25-100 mg/hari).
6.Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu substrate endogen yang disintesa didalam mitokondria dengan bantuan enzim ALC transferace. Penelitian ini menunjukan bahwa ALC dapat meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase. Pada pemberiaan dosis 1-2 gr /hari/oral selama 1 tahun dalam pengobatan, disimpulakan bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi kognitif.



BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
Adapun pengkalian yang dilakukan pada penyakit Alzheimer
Aktifitas istirahat
Gejala : merasa leleh
Tanda : siang/malam gelisah, tidak berdaya, gangguan
Pola tidur Letargi dan gangguan keterampilan motorik.
Sirkulasi
Gejala : Riwayat penyakit vaskuler serebral/sistemik.hipertensi,episode emboli
Integritas ego
Gejala : curiga atau takut terhadap situasi/orang khayalan, kesalahan persepsi terhadap lingkungan, kehilangan multiple.
Tanda : menyembunyikan ketidakmampuan, duduk dan
menonton yang
lain, aktivitas pertama mungkin menumpuk
benda tidak bergerak dan
emosi stabil
Eliminasi
Gejala : Dorongan berkemih
Tanda : Inkontinensia urine/feaces
Makanan/cairan
Gejala : Riwayat episode hipoglikemia, perubahan
dalam pengecapan, nafsu makan, kehilangan berat badan.
Tanda : kehilangan kemampuan untuk mengunyah, menghindari/menolak makan.dan tampak semakin kurus.
Higene
Gejala : Perlu bantuan tergantung orang lain
Tanda : kebiasaan personal yang kurang, lupa untuk pergi kekamar mandi dan kurangberminat pada waktu makan
Neurosensori
Gejala : Peningkatan terhadap gejala yang ada terutama
perubahan kognitif,
kehilangan sensasi propriosepsi dan adanya
riwayat penyakit serebral vaskuler/sistemik serta aktifitas kejang.
Kenyamanan
Gejala : Adanya riwayat trauma kepala yang serius,
trauma kecelakaan
Tanda : Ekimosis laserasi dan rasa bermusuhan/menyerang orang lain
Integritas social
Gejala : Mersa kehilangan kekuatan
Tanda : Kehilangan control social,perilaku tidak tepat

2.Diagnosa keperawatan
1. Resiako terhadap trauma berhubungan dengan:
a. Ketidakmampuan mengenali/mengidentifikasi bahaya dalam lingkungan
b. Disorientasi, bingung, gangguan dalam pengambilan keputusan
c. Kelemahan, otot-otot yang tidak terkordinasi, adanya aktifitas kejang
2. Perubahan proses piker berhubungan dengan:
a. Degenerasi neuron irreversible
b. Kehilangan Memori
c. Konflik psikologis
d. Deprivasi tidur
3. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan :
a. Perubahan persepsi, transmisi dan atau integrasi sensori
b. Keterbatasan berhubungan dengan lingkungan sosialnya
4. Perubahan pola tidur berhubungan dengan :
a. Perubahan pada sensori
b. Tekanan psikologik
c. Perubahan pada pola aktivitas
5. Resiko terhadap perubahan pola nutrisi kurang/lebih dari kebutuhan
berhubungan dengan :
a. Perubahan sensori
b. Kerusakan penilaian dan koordinasi
c. Agitasi
d. Mudah lupa, kemunduran hobi dan penyambunyian
6. perubahan pola eliminasi konstipasi/inkontinensia berhubungan dengan :
a. kehilangan fungsi neurologis/tonus otot
b. ketidakmampuan untuk menentukan letak kamar mandi/mengenali kebutuhan
c. Perubahan diet atau pemasukan makanan
7. Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubung dengan :
a. Kacau mental, pelupa dan disorientasi pada tempat atau orang
b. Perubahan fungsi tubuh, penurunan dalam kebiasaan/control perilaku
c. kurang keinginan /penolakan seksual oleh orang terdekat
d. Kurang privasi
8. Koping keluarga tidak efektif berhubungen dengan :
a. Tingkah laku pasien yang tidak menentu/terganggu
b. Keluarga berduka karena ketidak berdayaan menjaga orang yangdicintanya
c. Hubungan keluarga sangat ambivalen
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Resiko terhadap trauma berhubungan dengan :
a. Ketidakmampuan mengenali/mengidentifikasi bahaya dalam lingkungan
b. Disorientasi, bingung, gangguan dalam pengambilan keputusan
c. Kelemahan, otot-otot yang tidak terkordinasi, adanya aktifitas kejang


Intervensi Rasionalisasi
 Kaji derajat gangguan kemampuan kompetensi munculnya tingkah laku yang impulsive dan penurunan persepsi visual. Bantu orang terdekat untuk mengidentifikasi resiko terjadinya bahaya yang mungkin timbul.
 Hilangkan/minimalkan sumber bahaya dalam lingkungan

 Alihkan perhatian klien ketika prilaku teragitasi atau bahaya seperti keluar dari tempat tidur dengan memanjat pagar tempat tidur tersebut  Penurunan persepsi visual meningkatkan resiko terjatuh. Mengidentifikasi resiko potensial di lingkungan dan mempertinggi kesadaran sehingga pemberi asuhan lebih sadar akan bahaya.
 Seorang dengan gangguan kognitif dan gangguan persepsi merupakan awal untuk mengalami trauma sebagai akibat ketidakmampuan untuk bertanggung jawab terhadap kemampuan keamanan yang dasar atau mengevaluasi keadaan tertentu.
 Mempertahankan keamanan dengan menghindari konfrontasi yang dapat meningkatkan prilaku/meningkatkan resiko terjadinya trauma

2.Perubahan proses piker berhubungan dengan :
a. Degenerasi neuro irreversible
b. Kehilangan Memori
c. Konflik psikologis
d. Deprivasi tiduran

Intervensi Rasionalisasi
 Kaji tingkat gangguan kognitif seperti perubahan orientasiterhadap orang, tempat dan waktu, rentang, perhatian, kemampuan berpikir. Bicarakan dengan orang terdekat mengenai perubahan tingkah laku yang biasa /lamanya masalah yang telah ada

 Pertahankan lingkungan yang tenang menyenangkan

 Tatap wajah ketika berbicara dengan pasien

 Panggil pasien dengan namanya

 Gunakan suara yang agak rendah dan berbicara perlahan pada pasien  Memberikan dasar untuk evaluasi/perbandingan yang akan dating dan mempengaruhi pilihan terhadap intervensi

 Kebisingan, keramaian, orang banyak biasanya merupakan sensori yang berlebihan dan dapat meningkatkan gangguan neuron

 Menimbulkan perhatian, terutama pada orang-orang dengan gangguan perceptual


 Nama merupakan bentuk identitas diri dan menimbulkan pengenalan terhadap realita dan individu
 Meningkatkan kemungkinan pemahaman

3.Perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan :
a. Perubahan persepsi, transmisi dan atau integrasi sensori
b. Keterbatasan berhubungan dengan lingkungan sosialnya.

Intervensi Rasionalisasi
 Kaji derajat sensori atau gangguan persepsi dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi individu yang termasuk didalamnya adalah penurunan penglihatan/pendengaran
 Berikan sentuhan dalam cara perhatian  Karena keterlibatan otak biasanya global, yaitu dalam persentasi kecil mungkin memperlihatkan masalah yang bersifat asimetri yang menyebabkan pasien kehilangan kemampuan pada salah satu sisi tubuhnya
 Dapat meningkatkan persepsi terhadap diri sendiri
 Mengkomunikasikan kenyamanan melalui berbagai cara
4. Perubahan pola tidur berhubungan dengan :
a. Perubahan pada sensori
b. Tekanan psikologik
c. Perubahan pada pola aktivitas
intervensi Rasionalisasi
 Berikan kesempatan untuk istirahat/tidur sejenak, anjurkan latihan saat siang hari, turunkan aktivitas fisik/mental pada sore hari
 Hindari penggunaan pengikatan secara terus menerus

 Berikan makanan kecil pada sore hari  Karena aktivitas fisik dan mental yang lama mengakibatkan kelelahan yang dapat meningkatkan kebingungan, aktifitas yang terprogram tanpa stimulus yang berlebihan dapat meningkatkan waktu tidur
 Resiko gangguan sensori, meningkatkan agitasi dan menghambat waktu tidur
 Meningkatkan relaksasi dengan perasaan mengantuk

5. Resiko terhadap perubahan pola nutrisi kurang/lebih kebutuhan berhubungan dengan:
a. Perubahan sensori
b. Kerusakan penilaian dan koordinasi
c. Agitasi
d. Mudah lupa,kemunduran hobi dan penyembunyian

Rencana Keperawatan

Intervensi Rasional
 Kaji pengetahuan pasien/orang terdekat mengenai

 Tentukan jumlah latihan/langkah yang pasien lakukan

 Usahakan untuk memberikan makanan kecil setiap kira-kira satu jam sesuai kebutuhan

 Berikan waktu yang leluasa untuk makan


Kolaborasi
 Rujuk konsultasikan dengan ahli gizi  Identifikasi kebutuhan untuk menbantu memformulasikan perencanaan pendidikan secara individual
 Masukan nutrisi mungkin perlu untuk memenuhi kebutuhan yang mendekati berhubungan dengan kecukupan kalori secara individu
 Makanan dalam jumlah yang besar mungkin terlalu banyak untuk pasien yang mengakibatkan kesulitan dalam menelan. Makanan kecil bisa meningkatkan masukan yang sesuai. Pembatasan jumlah makanan yang diupayakan hanya sekali waktu pemberian akan menurun kebingungan pasien mengenai makanan mana yang dipilih
 Pendekatan yang santai membantu pencernaan makanan dan menurunkan kemungkinan untuk marah yang dicetuskan oleh keramaian
 Bantuan mungkin diperlukan untuk menggembangkan kesembangan diet secara individu untuk menemukan kebutuhan pasien/makanan yang disukai

6.Perubahan pola eliminasi konstipasi/inkontinensia berhubungan dengan :
a. Kehilangan fungsi neurologis/tonus otot
b. Ketidakmampuan untuk menentukan letak kamar mandi/mengenali kebutuhan
c. Perubahan diet atau pemasukan makanan

Intervensi Rasional
 Kaji pola yang sebelumnya dan bandingkan dengan yang sekarang
 Letakan tempat tidur dengan kamar mandi jika memungkinkan buatkan tanda tertentu dipintu berkode khusus. Berikan cahaya yang cukup tertentu malam hari
 Buat program latihan defikasi/kandung kemih. Tingkatkan partisipasi pasien sesuai tingkat kemampuannya
 Anjurkan menu adekuat selama siang hari,diet tinggi serat dari sari buah. Batasi minum saat menjelang malam dan waktu tidur
 Kolaborasi
 Berikan obat pelembab feces, metamacil,gliserin supositoria sesuai indikasi  Memberikan informasi mengenai perubahan yang mungkin selanjutnyamemerlukan pengkajian/intervensi
 Meningkatkan orientasi/penemuan kamar mandi. Inkontinensia mungkin disertai ketidakmampuan untuk menemukan tempat berkemih
 Menstimulasi kesadaran pasien, meningkatkan pengaturan fungsi tubuh dan membantu menghindari kecelakaan

 Menurunkan resiko konstipasi/dehidrasi.Pembatasan minum pada sore menjelang malam dapat menurunkan seringnya berkemih/inkontinensia pada malam hari


 Mungkin diperlukan untuk memfasilitasi/menstimulasi deteksi yang teratur

7.Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan :
a. Kacau mental, pelupa dan disorintasi pada tempat atau orang
b. Perubahan fungsi tubuh, penurunan dalam kebiasaan/control prilaku
c. Kurang keinginan/penolakan seksual oleh orang terdekat
d. Kurang privasi

Intervensi Rasional
 Kaji kebutuhan/ kemampuan pasien secara individu
 Anjurkan pasangan untuk memperlihatkan penerimaan/perhatiannya
 Berikan jaminan terhadap privasi

 Gunakan distraksi sesuai dengan kebutuhan. Ingatkan pasien bahwa ini merupakan tempat umum(tempat masyarakat banyak) dan tingkah laku yang dilakukan sekarang tidak dapat diterima

 Berikan waktu yang cukup untuk menjelaskan/mendiskusikan perhatian dari orang terdekat  Metode alternative perlu diciptakan pada keadaan tertentu untuk memfasilitasi kebutuhan akan intimasi(keinginan untuk melakukan hubungan seksual)
 Seseorang dengan gangguan kognitif biasanya kebutuhan dasarnya pada efektif, rasa cinta, perasaan diterima, dan ekspresi seksual
 Tingkah laku ekspresi seksual mungkin berbeda. Privasi memungkinkan seseorang untuk mengekspresikan keinginan seksualnya tanpa hambatan dari orang lain
 Merupakan satu alat yang paling bermanfaat ketika tingkah laku yang tidak sesuai, Seperti membuka pakaian
 Mungkin memerlukan informasikan dan atau konseling mengenai alternatif tertentu dalam melakukan aktifitas/agresi seksual

8.Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan :
a. Tingkah laku pasien yang tidak menentu/terganggu
b. Keluarga berduka karena ketidak berdayaan menjaga orang yang dicintainya
c. Hubungan keluarga sangat ambivalen

Intervensi Rasional
 Libatkan semua orang terdekat dalam pendidikan dan perencanaan perawatan pasien dirumah
 Buat prioritas
 Realitas dan tulus dalam mengatasi semua permasalahan yang ada
 Bicarakan semua kontinu kemampuan keluarga dalam merawat pasien dirumah
 Berikan waktu/dengarkan hal-hal yang menjadi keluhan kecemasannya
 Diskusikan kemungkinan adanya isolasi. Berikan penguatan terhadap kebutuhan terhadap system dukungan
 Kolaborasi
 Rujuk pada sumber-sumber penyokong setempat seperti perawatan lansia pada siang hari, pelayanan dirumah, berhubungan dengan asosiasi penyakit  Dapat memudahkan beban terhadap penangganan dan adaptasi rumah
 Membantu membuat satu pesan tertentu dan memfasilitasi pemecahan masalah
 Menurunkan stress yang menyelimuti harapan yang keliru seperti individu tersebut dapat menemukan kembali tingkat kemampuan pada masa lalu setelah penggunaan obat tertentu
 Tingkah laku yang terhalang, tuntutan perawatan tinggi dan seterusna dapat menimbulkan keluarga akan menarik diri dari pergaulan social
 Orang terdekat memerlukan dukungan yang dihadapi akan meningkatkan selama mengatasi penyakit untuk memudahkan proses adaptasi
 Kepercayaan bahwa individu dapat menemukan semua kebutuhan pasien meningkatkan resiko penyakit fisik/mental
 Koping dengan individu seperti ini adalah tugas perlu waktu dan membuat frustasi

Evaluasi

1. Tidak mengalami trauma, keluarga mampu mengenali risiko potensial di lingkungan dan mengidentifikasikan tahap-tahap untuk memperbaikinya
2. Mampu mengenali perubahan dalam berpikir/tingkah laku dan faktor-faktor penyebab jika memungkinkan
3. Mampu mendemonstrasikan respon yang meningkatkan/sesuai dengan stimulasi
4. Mendapatkan diet nutrisi yang seimbang dan mampu mempertahankan kembali berat badan yang sesuai
5. Mampu menciptakan pola tidur yang adekuat dengan penurunan terhadap pikiran yang melayang-layang
6. Mampu menciptakan pola eliminasi yang adekuat
7. Mampu mengidentifikasi/mengungkapkan dalam diri mereka sendiri untuk mengatasi keadaan
8. Memenuhi kebutuhan seksualitas dalam cara yang dapat diterima

BAB IV
A. Kesimpulan
Penyakit Alzheimer adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan, yang terutama menyerang orang berusia 65 tahun keatas (patofiologi : konsep klinis proses- proses penyakit, Juga merupakan penyakit dengan gangguandegenarif yang mengenai sel-sel otak dan menyebabkan gangguan fungsi intelektual, penyakit ini timbul pada pria dan wanita dan menurut dokumen terjadi pada orang tertentu pada usia 40 tahun (Perawatan Medikal Bedah : jilid 1 hal 1003 ). Hal tersebut berkaitan dengan lebih tingginya harapan hidup pada masyarakat di Negara maju, sehingga populasi penduduk lanjut usia juga bertambah.
Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternative penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi flament, predisposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit Alzheimer terdiri dari degerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kongnitif dengan penurunan daya ingat secara progresif. Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan calcium intraseluler, kegagalan metabolism energy, adanya formasi radikal bebas atau terdapat produksi protein abnormal yang non spesifik

B. Saran
Kita tahu otak merupakan organ yang sangat kompleks. Dimana di otak terdapat area-area yang mengatur fungsi tertentu. Untuk itu ada beberapa tips yang bisa diikuti bila ada anggota keluarga ada yang menderita penyakit alzheimer : Buat cacatan kecil, untuk membantu mengingat,Ciptakan suasana yang menyenangkan, Hindari memaksa pasien untuk mengingat sesuatu atau melakukan hal yang sulit karena akan membuat pasien cemas, Usahakan untuk berkomunikasi lebih sering, Buatlah lingkunganyang aman,Ajarkan pasien berjalan-jalan pada waktu siang hari,Bergaya hidup sehat,Mengkonsumsi sayur
DAFTAR PUSTAKA

http://www.indonesiaindonesia.com/f/9951-alzheimer/
http://medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=2002
Corwin J. Elisabet.2004.patofisiologi untuk perawat.EGC,Jakarta.
Suzanne C.Smeltzer & Brenda G.Bare.2001. KMB vol 3. Hal.2194 BAB 60 UNIT 15.EGC.Jakarta.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS